JAKARTA – Meski Jamaah Islamiyah sudah membubarkan diri, pemerintah harus tetap waspada terhadap ideologi yang mereka yakini selama ini. Untuk itu dinilai perlu untuk terus melakukan pembinaan dan program deradikalisasi bagi para mantan anggota organisasi tersebut dalam jangka panjang.
Demikian disampaikan oleh Dr. Darmansjah Djumala, Kelompok Ahli BNPT Bidang KerjanSama Internasional, usai diskusi panel dengan topik “Global Terrorism Index 2025: Findings and Lessons Learned for Indonesia” yang digelar oleh CSIS (Centre for Strategic and International Studies), IEP (Institute for Economics and Peace) dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Kamis (10/4/2025).
Diskusi yang dihadiri kalangan diplomatik, akademisi dan lembaga studi itu membahas laporan yang disusun oleh GTI (Global Terrorism Index) yang memuat analisis dan data terkait dengan isu terorisme, perkembangan dan rekomendasi kebijakannya.
Dalam sambutan tertulisnya, Kepala BNPT, Komjen Pol. Eddy Hartono, yang diwakili oleh Deputi I Bidang Kerjasama Internasional, Andhika Chrisnayudanto, mengatakan, berdasarkan data tren dan pola terorisme global yang disajikan dalam GTI menunjukkan bahwa ancaman terorisme masih terus ada di berbagai kawasan di dunia.
Dia menjelaskan, GTI telah dirujuk oleh Bappenas dan dicantumkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan RPJMN 2025-2029, sebagai indikator efektifitas penanggulangan terorisme di Indonesia.
Dalam keterangan persnya, Dr. Djumala secara khusus menggarisbawahi inisiatif pimpinan Jamaah Islamiyah (JI), afiliasi Al-Qaeda (AQ) terbesar di Indonesia, yang pada Juni 2024 mengumumkan pembubaran organisasi mereka untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Menurut dia, pembubaran organisasi trrsebut pantas diapresiasi. Namun demikian, pemerintah tetap harus waspada terhadap kemunculan kembali paham radikalisme mereka. Sejauh ini mantan anggota JI yang sudah kembali ke tengah-tengah masyarakat diperkirakan berjumlah 1.400 orang (Antara, 23 Desember 2024).
Dalam kaitan inilah, Dr. Djumala, yang pernah bertugas sebagai Dubes di Austria dan PBB di Wina yang menangani isu terorisme, menunjuk perlunya mantan anggota JI diikutkan dalam program pembinaan dan program deradikalisasi BNPT agar meninggalkan paham radikal melalui tahapan rehabilitasi, reedukasi dan reintegrasi sosial.
Pada bagian lain, Dubes Djumala menyoroti perkembangan isu terorisme di kawasan Asia Selatan, khususnya terkait dengan isu pengungsi Rohingya. Dia mengingatkan, pada pertemuan Joint Working Group (JWG) Kerja Sama Penanggulangan Terorisme ke-6 antara Indonesia-India, 23 Agustus 2024, Delegasi India mendeteksi adanya tindak terorisme yang dilakukan oknum Islam radikal dari Bangladesh yang ditengarai mempunyai jaringan dengan pengungsi militan Rohingya.
Data GTI 2025 mengungkapkan pada 2024 Asia Selatan merupakan kawasan yang menempati score rata-rata tertinggi tindakan terorisme dalam satu dekade terakhir. Sedangkan UNHCR per Mei 2024 mencatat jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia sebanyak 2.026 orang yang tersebar di Aceh, Medan dan Makassar.
“Sebagai langkah pre-emptive, baik kiranya jika Indonesia, India dan Bangladesh bekerja sama dalam pertukaran informasi jaringan terorisme, khususnya yang terkait dengan pengungsi Rohingya. Kerja sama ketiga negara diharapkan dapat menekan potensi terorisme di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sejak dini,” ujar Dubes Djumala.