JAKARTA – Keputusan Organisasi Perdagangan Dunia, WTO (World Trade Organization), yang memenangkan gugatan Indonesia dalam sengketa dagang kelapa sawit menunjukkan Indonesia tak pernah tunduk pada tekanan politik Uni Eropa.
“Keputusan itu membuktikan forum perdagangan multilateral WTO taat hukum dalam menyelesaikan sengketa dagang sesuai dengan fatsunnya, rule-based approach. Ini juga preseden bagus bagi Indonesia jika kita beresengketa lagi dengan negara anggota untuk komoditas lain,” kata Dr. Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri, Minggu (19/1/2025).
Seperti diwartakan berbagai media, Panel WTO pada 17 Januari 2025 memutuskan kebijakan Uni Eropa (UE) atas minyak sawit dan biofuel berbasis tanaman sawit adalah praktik diskriminasi. Sebelumnya UE membatasi penggunaan bahan dasar kelapa sawit untuk biofuel sehingga merugikan Indonesia sebagai salah satu pengekspor sawit terbesar di dunia.
Dalam pengamatan Dr. Djumala, yang pernah bertugas di PTRI Jenewa, Swiss dan menangani isu-isu perdagangan internasional di WTO, selama ini UE menuduh sawit Indonesia tidak memenuhi standar kesehatan karena kadar lemak dan kolesterolnya tinggi. UE juga menuduh pengembangan perkebunan sawit Indonesia tidak memenuhi standar lingkungan hidup.
Menurut Dr. Djumala, tuduhan UE itu bukan semata karena alasan kesehatan dan lingkungan hidup. Tapi lebih serius dari itu, kebijakan UE lebih bermotifkan politik perdagangan.
UE sejak 2003 mulai menerapkan kebijakan renewable energy dengan menggunakan minyak nabati untuk produksi biofuel, yaitu rapeseed dan bunga matahari. Dalam hitungan ekonomi, ternyata sebagai bahan dasar pembuatan biofuel, rapeseed dan bunga matahari lebih mahal dari kelapa sawit. Hal ini akan menurunkan daya saing rapeseed dan bunga matahari terhadap kelapa sawit.
“Karena kalah bersaing dengan sawit Indonesia, dan untuk melindungi petani rapeseed dan bunga matahari, UE menerapkan kebijakan diskriminatif dengan membatasi penggunaan sawit sebagai bahan dasar biofuel,” jelasnya.
Dr. Djumala, yang juga pernah menjabat Duta Besar untuk Austria dan PBB di Wina, lebih jauh mengungkapkan bahwa pada dasarnya di setiap lembaga dunia berlaku apa yang disebut “anarki struktural”, yaitu keadaan dimana sistem internasional bergerak dalam situasi anarki, yang kuat akan mengambil manfaat lebih banyak dari yang lemah, karena ketiadaan penataan dalam pendistribusian kekuasaan antar-negara.
Di awal pembentukan WTO pada 1995 kekhawatiran seperti itu sempat mengemuka. Tapi seiring berjalannya waktu, WTO mampu menunjukkan konsistensinya pada pilar “rule-based approach” dalam penyelesaian sengketa dagang.
“Jika WTO konsisten berpegang pada semangat rule-based seperti itu, maka negara berkembang tak perlu khawatir terhadap tekanan politik negara maju dalam menyelesaikan sengketa dagang, sekalipun mereka menggunakan pretext non-ekonomi seperti dalih kesehatan dan lingkungan hidup,” kata Dr Djumala.
Dia bahkan mengingatkan, pendekatan rule-based seperti ini bisa juga diperjuangkan dalam menghadapi gugatan UE terhadap kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. “Keputusan WTO yang berpegang pada rule-based approach dan taat hukum memberi harapan pada Indonesia untuk terus maju dalam menghadapi gugatan UE terhadap kebijakan Indonesia yang melarang ekspor nikel mentah. Dengan mempelajari aturan hukum WTO secara seksama, delegasi Indonesia tak perlu gentar menghadapi gugatan UE itu, meski dengan tekanan politik sekalipun,” tandas Dr. Djumala.