JAKARTA – Diplomasi Indonesia melakukan langkah bersejarah dengan menjadi anggota BRICS. Dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia memasuki ranah baru dalam mengaktualisasikan prinsip bebas-aktif dalam diplomasi dan kebijakan luar negerinya.
Hal itu disampaikan oleh Dr. Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Kebijakan Hubungan Luar Negeri, menanggapi pernyataan Kementerian Luar Negeri Brasil pada 6 Januari 2025 waktu setempat terkait diterimanya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS.
BRICS adalah forum kerjasama ekonomi negara-negara dari berbagai kawasan dunia. Saat ini BRICS beranggotakan 10 negara, yaitu Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, Uni Emirat Arab dan Indonesia.
Disamping itu, BRICS juga diikuti oleh 12 negara mitra, yaitu Thailand, Malaysia, Vietnam, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Nigeria, Turki, Uganda, dan Uzbekistan. Dalam level dunia, BRICS menguasai 37,82% PDB dunia dengan jumlah penduduk 48% dari total populasi dunia.
Dr. Djumala, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan PBB, menggarisbawahi fakta bahwa penerimaan Indonesia sebagai anggota penuh relatif cepat.
Niat Indonesia untuk ikut BRICS dinyatakan oleh Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Sugiono pada KTT BRICS di Kazan, Rusia, 24Oktober 2024. Hanya berselang 2,5 bulan Kemenlu Brazil, sebagai Ketua BRICS saat ini, mengumumkan diterimanya Indonesia sebagai anggota penuh.
Menurut Dubes Djumala, yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekretariat Presiden/Sekretaris Presiden Jokowi periode pertama, cepatnya Indonesia diterima sebagai anggota menyiratkan peran Indonesia dinilai penting dalam BRICS terutama dalam tiga perspektif; yaitu geopolitik, ekonomi dan diplomasi.
Pertama, dalam konteks geopolitik dunia sekarang ini, profil Indonesia sebagai pelopor Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok membawa nuansa kemandirian dan independensi dalam tarikan kepentingan politik global.
Marwah prinsip bebas-aktif akan terefleksi dalam kinerja diplomasi BRICS dalam interaksinya dengan kekuatan politik global lainnya. Pada titik ini Indonesia memperoleh ranah baru untuk mengaktualisasikan prinsip bebas-aktifnya.
Kedua, dari perspektif ekonomi, Indonesia dipandang sebagai kekuatan ekonomi regional dengan pangsa pasar terbuka yang luas dengan kelas menengah cukup besar. Dengan status sebagai anggota G20 tidak sulit bagi Indonesia untuk berkontribusi dalam kerja sama BRICS terutama dalam pembukaan akses pasar dan arus investasi.
Ketiga, dari perspektif watak diplomasi, Indonesia selama ini sudah terlanjur dikenal sebagai penengah atau bridge builder dalam banyak perbedaan kepentingan negara-negara dunia, seperti negara maju versus negara berkembang atau negara Barat versus Timur.
Menjadi mediator kepentingan yang berbeda secara diametral sudah menjadi DNA diplomasi Indonesia. Watak mediasi seperti ini sangat diperlukan dalam menjembatani kepentingan antara BRICS dan kekuatan blok ekonomi global lainnya.
“Sebenarnya di sinilah letak nilai lebih yang dimiliki Indonesia ketika menjadi anggota BRICS. Adab diplomasi Indonesia yang menekankan pada upaya “menyatukan yang terbelah dan mendekatkan yang terpisah” akan mewarnai langkah BRICS ketika berhadapan dengan kepentingan blok ekonomi lain,” ujar Dubes Djumala.
Dia mengatakan diplomasi nilai Indonesia yang diinspirasi oleh Pancasila, yaitu gotong royong (kerja sama) dan musyawarah (dialog), diharapkan dapat mewarnai kinerja BRICS manakala kelompok tersebut berinteraksi dengan kekuatan ekonomi global lain. (hl)