JAKARTA – Indonesia mesti mengambil pelajaran dari konflik Thailand-Kamboja yang terjadi beberapa hari terakhir. Konflik ini dipicu oleh silang sengketa kepemilikan beberapa candi di sepanjang perbatasan kedua negara.
“Benda budaya ketika sudah dikaitkan dengan kedaulatan teritorial suatu bangsa dapat memicu pertikaian yang berkepanjangan. Indonesia mesti mengambil pelajaran dari sini, waspadai dan jaga warisan budaya bangsa,” ungkap Dr. Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Jumat (25/7/2025).
Sejak 24 Juli lalu, Thailand dan Kamboja terlibat konflik perbatasan. Semua itu bermula ketika tentara Thailand terjebak ranjau darat di perbatasan. Thailand menuduh Kamboja memasang ranjau, namun Kamboja membantah.
Sebagai tanda protes Thailand menarik pulang dubesnya di Phnom Penh dan mengusir dubes Kamboja di Bangkok. Media memberitakan Kamboja menembaki pangkalan militer Thailand dekat candi Ta Muen Thom.
Sebagai balasan Thailand menjatuhkan bom ke instalasi militer Kamboja dekat candi Preah Vihear, yang juga terletak dekat perbatasan kedua negara. Hingga kini kedua belah pihak masih saling tuduh siapa yang mulai menyerang.
Sejauh ini korban tewas di pihak Thailand 14 warga sipil dan satu tentara. Di pihak Kamboja, otoritas negara itu menyebut sebanyak satu warga sipil tewas. Selain itu, bentrokan melukai puluhan orang dan 100.000 warga sipil Thailand di Provinsi Ubon Ratchathani dan Provinsi Surin mengungsi.
Dr. Djumala, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Wina dan PBB, mengatakan konflik Thailand-Kamboja di kompleks candi Preah Vihear dan Ta Muen Thom ini tidak biasa dan cukup unik, yaitu konflik yang dipicu warisan budaya (cultural heritage) berupa candi-candi yang berlokasi di sepanjang perbatasan kedua negara.
Tapi justru di sinilah letak signifikansi konflik Thailand-Kamboja dalam wacana sumber-sumber konflik di ranah hubungan internasional. Konflik atas kedua candi yang merupakan produk menunjukkan betapa Thailand dan Kamboja sangat memperhitungkan faktor budaya dalam hubungan luar negerinya.
“Persepsi strategis Thailand dan Kamboja terhadap produk budaya itu ternyata menentukan cara mereka bertindak dalam penyelesaian konflik. Tak segan menggunakan kekerasan,” kata Dr. Djumala.
Candi berusia 900 tahun dan dibangun oleh peradaban bangsa Khmer itu dijadikan sebagai simbol kebanggaan bagi bangsa Kamboja. Bagi Kamboja, kebanggaan ini adalah kebutuhan psikologi politik untuk mempersatukan bangsa. Politik identitas berlatar kultural inilah yang mendorong Kamboja untuk ngotot mempertahankan Candi Preah Vihear, sekalipun dengan konflik senjata.
Dubes Djumala menambahkan, selama ini produk budaya seperti candi (tangible cultural heritage) hanya dilihat sebagai benda ekonomi. Tapi, dengan adanya konflik Thailand dan Kamboja, ternyata benda budaya kini bermetamorfosis menjadi benda politik sehingga memantik konflik bersenjata.
Konflik mengenai warisan budaya tangible lebih mudah ditangani, karena objek yang diperebutkan memiliki ruang atau menduduki tempat yang jelas. Pertimbangan terhadap kepemilikannya mungkin bisa dirujuk pada konsep teritori dan batas negara.
Tapi, jika konflik itu menyangkut intangible cultural heritage, seperti seni musik dan pertunjukan, ritual, atau pengetahuan masyarakat lokal, perdebatan mengenai kepemilikannya akan lebih rumit.
“Di tengah makin terbukanya arus pergerakan manusia yang membawa adat istiadat dan budayanya, batas antara pemilik, penerus, dan peniru suatu produk budaya menjadi tipis. Indonesia yang kaya dengan warisan budaya non-benda ini harus merawat dengan serius semua warisan itu, sebelum pihak lain mengklaim secara sepihak,“ kata Dubes Djumala.











