Dubes Djumala: Tumbangnya Rezim Assad Buktikan Prinsip Bebas-Aktif Tetap Relevan dalam Politik Global

Dr Darmansjah Djumala

JAKARTA – Media interasional memberitakan Presiden Suriah Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia sebelum jatuhnya kota Damaskus ke tangan para pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pimpinan Abu Mohammed al-Golani.

Dunia kini menanti dengan cemas, bagaimana Golani menggunakan kekuasaan de facto yang kini berada di tangannya untuk melakukan pengalihan kekuasan. Kekhawatiran yang wajar mengingat Suriah selama ini diperintah dengan tangan besi oleh keluarga Hafez al-Assad, ayah Bashar al-Assad.

Banyak pihak khawatir akan muncul aksi balas dendam oleh para pemberontak terhadap keluarga Assad dan kroni-kroninya. Dunia internasional bahkan mengkhawatirkan Suriah akan menjadi negara gagal (failed state) karena dikoyak oleh pertikaian kelompok-kelompok kepentingan yang berlatar etnik, suku dan agama.

Pada 2014 Golani kepada stasiun televisi Al Jazeera menyatakan sikapnya, bahwa ia ingin membuat Suriah menjadi negara Islam dan tidak ada tempat bagi kelompok minoritas. Namun pada 2016 ia mulai menjaga jarak dengan kelompk radikal ISIS.

Dimintai pendapatnya tentang tumbangnya rezim Assad, Dr. Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Bidang Strategi Hubungan Internasional, mengatakan bahwa Assad adalah presiden di negara Timur Tengah yang cukup lama bertahan dari gempuran badai demokratisasi Arab Spring 2011.

Tidak seperti Ben Ali (Tunisia), Hosni Mobarak (Mesir), Khadafy (Libya), Morsi (Mesir) dan Abdullah Saleh (Yaman) yang tumbang diterpa badai Arab Spring, Bashar Assad mampu bertahan lebih dari 13 tahun.

Dalam amatan Dubes Djumala, yang pernah menjabat Dubes RI untuk Astria dan PBB, kemampuan Assad bertahan karena didukung secara militer oleh Rusia dan Iran, yang sudah lama menjadi sekutu dekatnya dalam geopolitik Timur Tengah. Namun belakangan dukungan kedua sekutu itu mengendur.

Mulai Februari 2014 Rusia disibukkan oleh perang dengan Ukraina. Ini yang menyebabkan mengendurnya dukungan militer Rusia untuk mempertahankan rezim Assad. Begitu juga dengan Iran. Sejak Oktober 2023 ketika Hamas menyerang Israel, Iran terlibat dalam perang itu dengan mendukung proxy-nya di Lebanon, Hisbullah.

Dubes Djumala, yang juga pernah menjabat Kepala Sekretariat Presiden/Sekretaris Presiden era Jokowi periode pertama, mengingatkan adanya keterlibatan asing dalam perang saudara di Suriah.

Disamping Rusia dan Iran yang mendukung rezim Assad, Turki juga ikut terlibat dalam perang saudara di Suriah dengan mendukung HTS (kelompok oposisi terbesar) dan Tentara Nasional Suriah (Syrian Nantional Army/SNA, sayap militer oposisi).

Selain Rusia, Iran dan Turki yang ikut nimbrung dalam perang saudara di Suriah melalui proxy masing-masing, AS pun ikut melibatkan diri dalam perang tersebut dengan mendukung kelompok perlawanan separatis Kurdi, SDF (Syrian Democratic Forces).

Menurut Dubes Djumala, perang saudara di Suriah mulanya hanyalah gerakan pro-demokrasi seiring dengan berhembusnya angin demokratisasi di Timur Tengah. Tapi keterlibatan pihak asing (Rusia, Iran, Turki, AS) menambah kompleksitas perang.

“Keterlibatan pihak asing dalam perang saudara di Suriah bukan menyelesaikan masalah. Malah membuat konflik makin parah, sehingga menumbangkan Presiden Assaad. Ini memberi pelajaran, prinsip kebijakan luar negeri bebas-aktif sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam tarikan kepentingan geo-politik negara asing. Dengan terpecahnya Suriah di bawah Assad akibat intervnensi asing terbukti bahwa prinsip bebas-aktif tetap relevan dalam politik global,” kata Dr. Djumala.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *