JAKARTA – Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke India pada 25-26 Januari 2025 dinilai strategis bagi penguatan hubungan kedua negara, berkaca pada sejarah emosional di masa lalu serta kesamaan kepentingan (common interest) di masa kini dan mendatang.
Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo juga spesial karena sekaligus menghadiri perayaan Hari Republik India yang ke-76 sebagai tamu negara utama. Momen ini mengulang sejarah ketika Presiden pertama RI, Sukarno, juga menjadi Tamu Utama pada Hari Republik India pertama pada 1950.
Selama kunjungan dua hari tersebut, pemimpin kedua negara sepakat untuk mengembangkan kerja sama bilateral dalam beberapa bidang, antara lain dari perdagangan, pariwisata, kesehatan, energi, keamanan, pertahanan, dan teknologi digital.
Dalam pertemuaan bilateral, kedua pemimpin menyinggung hubungan kesejarahan antara kedua negara. India adalah salah satu negara yang pertama memberi pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia. Tidak terbatas pada pengakuan kemerdekaan, India memberikan bantuan obat-obatan saat Indonesia menghadapi Perang Kemerdekaan hingga 1949.
Dalam tanggapannya, pakar hubungan internasional Dr. Darmansjah Djumala mengungkapkan, dalam hubungan diplomatik, sejarah persahabatan kedua negara bisa menjadi fondasi kokoh bagi pengembangan kerja sama di bidang lain.
Djumala, yang pernah bertugas sebagai Dubes RI untuk Austria dan PBB di Wina, mengingatkan bahwa Indonesia pun pernah membantu India ketika negara itu mengalami krisis pangan pada 1946.
Setelah Perang Dunia II selesai, banyak negara mengalami krisis pangan, akibat berkurangnya supply gandum dari Eropa yang mengalami kerusakan dahsyat akibat perang. Pada saat itu Indonesia mengirimkan bantuan beras sebanyak 500.000 ton untuk India.
“Diplomasi beras ini ternyata sangat efektif dalam membangun citra dan eksistensi Indonesia sebagai negara baru merdeka. Berkat diplomasi beras itu banyak negara yang memberi pengakuan kemerdekaan Indonesia,” kata dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad ini.
Pada bagian lain, Dubes Djumala, yang juga Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, menyoroti beberapa kesamaan kepentingan (common interest) yang dimiliki oleh kedua negara sebagai modal untuk peningkatan kerja sama bilateral.
Dalam banyak studi, di Abad 21 ini telah terjadi pergeseran titik berat ekonomi dunia ke kawasan Asia (shift of world economic gravity to Asia), yakni ke China, India dan Indonesia (ASEAN). Pergeseran ini ditandai dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, investasi dan perdagangan.
India dan Indonesia yang sama-sama memiliki pasar domestik besar dengan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi dan stabil dibandingkan dengan kawasan lain akan menjadi mitra dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan Indo-Pasifik. Terlebih lagi, kedua negara sama-sama anggota BRICS, sehingga kemitraan di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan lebih mudah untuk dikembangkan di masa depan.
Salah satu kesepakatan yang ditandatangai dengan India adalah kerja sama di bidang pertahanan. Dengan kesepakatan ini Indonesia dan India akan bekerja sama dalam sektor produksi pertahanan, manufaktur alutsista dan rantai pasokan, serta meningkatkan kerja sama di bidang keamanan maritim.
Djumala mengaitkan kerja sama militer ini dengan situasi geopolitik di Indo-Pasifik, terutama keamanan di Selat Malaka dan Laut China Selatan, sebagi kemitraan strategis.
“Sebagai dua negara besar dalam konstelasi geopolitik Indo-Pasifik, Indonesia dan India dapat berperan aktif dalam menjaga keamanan maritim di kawasan yang menjadi kepentingan bersama. Lebih luas lagi, kerja sama pertahanan kedua negara dapat mempererat konsolidasi kemitraaan strategis dalam menjaga stabilitas keamanan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik,” ungkap Djumala.