JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi diminta mengusut aset-aset PT Petro Energy (pailit) yang dilelang oleh kurator karena hasilnya diduga tidak maksimal dan tidak digunakan sepenuhnya untuk menutupi utang perusahaan itu kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Kurator Fitri Safitri Attorneys & Counselors At Law diketahui telah melelang sejumlah aset PT Petro Energy yang dinyatakan pailit pada 29 Juni 2020. Aset-aset yang dilelang berupa tanah, bangunan, jetty, mesin, alat berat dan kendaraan serta inventaris kantor.
Namun, sejumlah aset yang dilelang diduga tidak transparan sehingga hasilnya tidak maksimal untuk menutupi kewajiban PT Petro Energy kepada LPEI. Apalagi, nilai aset yang dijadikan jaminan utang jauh lebih rendah dibandingkan kredit yang dikucurkan oleh LPEI.
Berdasarkan data yang diperoleh redaksi, PT Petro Energy (PE) mengajukan enam aset berupa tanah, bangunan, jetty, mesin, alat berat dan kendaraan serta inventaris kantor sebagai jaminan utang kepada LPEI dengan indikasi nilai pasar Rp226,92 miliar dan nilai likuidasi Rp153,09 miliar.
Penilaian aset itu dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik Amir-Nirwan-Alfiantori & Rekan dengan tanggal penilaian 25 Oktober 2018. Nilai aset ini kemudian diperbarui per tanggal 27 September 2019 dengan indikasi nilai pasar Rp216,71 miliar dan nilai likuidasi Rp147,17 miliar, lebih rendah dari penilaian setahun sebelumnya.
Keenam aset yang dijaminkan itu terdiri dari 3 unit kantor di GP Plaza Jakarta dengan indikasi nilai pasar Rp26,906 miliar per 27 September 2019, tanah dan bangunan di Menteng Rp66,28 miliar, tanah kosong di Cimanggis Rp1,526 miliar, pabrik di Tangerang Rp20,83 miliar, tanah dan bangunan di Kebayoran Baru Rp46,98 miliar, serta jetty dan peralatan di Teluk Timbau Barito Selatan Rp54,21 miliar.
Dari keenam aset tersebut, LPEI antara lain telah melakukan lelang atas aset berupa tanah, bangunan, jetty dan peralatan di Teluk Timbau sebagaimana Surat Pemberitahuan Lelang No. BS.1090/LIT/12/2020 yang disampaikan LPEI kepada Fitri Safitri SH selaku kurator.
Aset itu tercatat atas nama PT Mitrada Selaras, perusahaan milik Newin Nugroho yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK dalam kasus korupsi LPEI dalam perannya selaku Direktur Utama PT PE. Selain aset itu, tanah dan bangunan di Menteng dan Kebayoran Baru juga tercatat atas nama Newin Nugroho.
Dari data ini diketahui bahwa jaminan utang yang diajukan PT PE ke LPEI jauh lebih kecil dibandikngkan dengan nilai kredit yang diterimanya dari lembaga itu sekitar Rp900 miliar. Berdasarkan data LPEI, jumlah kewajiban PT PE per 29 Juni 2020 adalah sebesar USD19.507.534 dan Rp637.002.302.893.
Ada informasi menyebutkan bahwa pengendali PT PE diduga bekerja sama dengan kurator dan pihak-pihak lain untuk mengondisikan agar aset-aset itu dijual dengan harga murah untuk dikuasai kembali. Akibatnya, hasil lelang tidak maksimal menutupi kewajiban PT PE ke LPEI.
Dugaan lelang murah ini antara lain terungkap dari gugatan Newin Nugroho terhadap kurator, LPEI dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV atas lelang tanah dan bangunan di Menteng dan Kebayoran Baru.
Dalam gugatannya, penggugat menilai limit lelang aset tersebut jauh lebih rendah dibandingkan nilai tanggungan yang tertera dalam akta pembebanan hak tanggungan dan sertifikat hak tanggungan yang dimiliki penggugat.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 32/PDT.SUSG.L.L/2022/PN NIAGA JKT PST, objek yang dijadikan sebagai jaminan telah dijadwalkan untuk dilelang pada 30 September 2022.
Dalam proses lelang itu, harga penawaran untuk objek yang berupa tanah Menteng dan Kebayoran Baru yang diumumkan ternyata berada di bawah nilai jaminan yang diberikan. Misalnya, harga penawaran untuk tanah Menteng hanya Rp35 miliar dengan uang jaminan lelang Rp7 miliar, sementara harga penawaran tanah Kebayoran Baru hanya Rp29,91 miliar dengan uang jaminan lelang Rp5,98 miliar.
Dalam hal ini, kurator ataupun kreditur dinilai tidak menetapkan nilai limit yang maksimal dengan menggunakan harga pasar terlebih dahulu, tetapi menetapkan nilai limit berdasarkan nilai likuidasi yang seharusnya merupakan batas akhir.
Pengalihan Saham dan Utang
Selain masalah transparansi lelang, PT PE diduga telah menyiapkan skenario mengalihkan saham dan kewajiban (utang) kepada PT Pada Idi (PI), perusahaan tambang batubara di Barito Utara yang diambilalih oleh PT PE pada 2018.
Pengalihan saham dan utang itu dilakukan sekitar dua bulan sebelum PT PE dinyatakan pailit pada 29 Juni 2020. Hal ini diketahui dari pendirian PT Tunas Laju Investama (TLI) berdasarkan Akta No. 26 Notaris Ria Novita tertanggal 30 April 2020.
PT TLI didirikan oleh Jimmy Masrin dengan menguasai 94,80% saham dan sisanya PT Caturkarsa Megatunggal (CM), perusahaan induk PT PE. Meski dikuasai Jimmy, dalam akta pendirian TLI, komisaris tercatat atas nama Liza Sutrisno dan Dirut atas nama Jubilant Arda Harmidy. Jimmy yang menjabat Dirut PT CM dan Komut PT PE telah ditetapkan tersangka dalam kasus korupsi LPEI.
Agar PT TLI dianggap membeli saham PT PE secara sah, dibuat skenario pengalihan tagihan dari PT CM kepada PT PI. Ini terungkap dari Surat Pemberitahuan Pengalihan Tagihan dari PT CM yang ditujukan kepada PT PI tertanggal 3 April 2020.
Dalam surat yang disepakati dan diteken oleh Jimmy Masrin selaku Dirut PT CM dan Yayan Rudianto selaku Direktur PT PI itu, PT PI diminta membayar sejumlah Rp43,455 miliar kepada PT CM. Tagihan ini mengacu surat pengakuan utang PT PI tertanggal 1 April 2020 yang sudah disiapkan sebelumnya.
Permintaan pembayaran itu menyusul perjanjian jual beli piutang antara PT CM dengan PT TLI pada 2 April 2020, dimana PT CM disebut telah menjual dan mengalihkan seluruh hak dan kepentingannya kepada PT TLI.
TLI, yang baru didirikan pada 20 Februari 2020 diduga menjadi kendaraan dalam rangka akuisisi tersebut, kemudian masuk menjadi salah satu pemegang saham di PT PI pada 30 April 2020 dengan porsi 33,33%. TLI mencomot 18,33% saham PT PE dan masing-masing 7,5% saham milik Bintoro Iduansjah dan The Budi Tejo Prawiro.
Setelah PT PE dinyatakan pailit pada 29 Juni 2020, TLI mengambilalih seluruh sahamnya di PT PI. Berdasarkan Akta No. 75 Notaris Ria Novita tertanggal 29 Oktober 2021, saham PT TLI di PT PI tercatat 70%, sisanya Bintoro dan The Budi (pendiri).
PT TLI kembali memperbesar porsi sahamnya dengan mengambilalih saham Bintoro dan The Budi masing-masing sebesar 5,78%. Ini dibuktikan dengan Akta No. 09 tertanggal 11 Mei 2022, dimana TLI telah menguasai 81,56% dan sisanya Bintoro dan The Budi masing-masing 9,22%.
Dari informasi tersebut diduga pengendali PT PE telah mengantisipasi atau mempersiapkan kepailitan perusahaan itu untuk menghindari kewajiban kepada LPEI. Oleh karena itu, KPK diminta mengusut semua pihak yang terlibat dan mendalami dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus tersebut.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan KPK bakal menerapkan pasal pencucian uang terhadap pihak-pihak yang terbukti berupaya menyamarkan harta hasil korupsi LPEI.
“Bila terbukti hal itu dilakukan dalam upaya untuk menyembunyikan, atau menyamarkan harta hasil tindak pidana korupsi, maka pihak tersebut akan dijerat sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi atau pencucian uang,” kata Tessa belum lama ini.
Dia menegaskan KPK akan terus melakukan penyidikan dan penelusuran aset para tersangka LPEI untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara. Semua pihak yang dipanggil penyidik diminta kooperatif.