JAKARTA – Kuasa hukum Jimmy Masrin, Marcella Santoso, menegaskan berbagai dugaan pelanggaran seperti pemalsuan dokumen, manipulasi laporan keuangan, hingga penyalahgunaan dana di PT Petro Energy dilakukan oleh direksi tanpa keterlibatan Jimmy selaku Komisaris Utama.
Menurut dia, persetujuan komisaris atas pinjaman disebut bersifat formalitas korporasi, bukan bentuk pengesahan atas tindakan melawan hukum.
“Keputusan yang saya ambil sebagai Komisaris PT Petro Energy adalah langkah korporasi yang sah, tanpa niat merugikan negara atau melakukan tindak pidana korupsi,” kata Marcella mengutip pernyataan Jimmy dalam pernyataan tertulis kepada media, Rabu (26/3/2025).
Jimmy Masrin ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit dari LPEI kepada PT Petro Energy (PE) senilai US$60 juta. Mantan Wakil Direktur PT Lautan Luas Tbk (LTLS) itu sudah ditahan bersama Direktur Utama PT PE Newin Nugroho dan Direktur Keuangan PT PE Susy Mira Dewi Sugiarta.
Sebelumnya KPK mengungkapkan, PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice yang menjadi undelying pencairan fasilitas yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, PT PE diduga melakukan window dressing terhadap laporan keuangan.
KPK menyebut ada dugaan benturan kepentingan antara direktur LPEI dan debitur PT PE dengan melakukan kesepakatan awal untuk mempermudah pemberian kredit. Direktur LPEI diketahui memerintahkan bawahannya untuk tetap memberikan kredit ke PT PE meskipun sebenarnya tidak layak.
Setelah PT PE kolaps, Jimmy diduga memainkan peran penting dalam upaya menyelamatkan aset perusahaan itu. Salah satunya dengan mendirikan perusahaan investasi PT Tunas Laju Investama (TLI) untuk mengambilalih saham PT PE di PT Pada Idi (PI). Jimmy menguasai 94,80 persen saham PT TLI dan sisanya PT Caturkarsa Megatunggal (CM).
PT PE mulai mengalihkan sahamnya di PT PI ke PT TLI sekitar dua bulan sebelum PT PE dinyatakan pailit pada Juni 2020. Hal ini terungkap dari Surat Pemberitahuan Pengalihan Tagihan dari PT CM yang ditujukan kepada PT PI tertanggal 3 April 2020.
Dalam surat yang disepakati dan diteken oleh Dirut PT CM Jimmy Masrin dan Direktur PT PI Yayan Rudianto itu, PT PI diminta membayar Rp43,455 miliar kepada PT CM sesuai dengan surat pengakuan utang tertanggal 1 April 2020.
Permintaan pembayaran itu menyusul perjanjian jual beli piutang PT CM dengan PT TLI pada 2 April 2020, dimana PT CM telah menjual dan mengalihkan seluruh hak dan kepentingannya kepada PT TLI.
Meskipun PT TLI sudah tercatat sebagai pemegang saham PT PI sejak 30 April 2020 berdasarkan Akta No. 26 Notaris Ria Novita, transaksi Rp43,455 miliar tersebut baru direalisasikan PT PI bersama dengan PT CM dan PT TLI pada Mei 2020.
Pada 11 Mei, PT PI mengirimkan Rp2 juta untuk pembukaan rekening bank PT TLI. Kemudian pada 13 Mei, PT CM membuka transaksi dengan mentransfer Rp10 miliar ke rekening PT TLI itu.
Sehari kemudian, PT TLI mentransfer Rp10 miliar ke rekening PT PI, yang dikirimkan kembali ke rekening PT TLI pada hari yang sama. Transfer dilakukan bolak-balik sebanyak 10 kali, termasuk dua kali transfer bolak-balik Rp3,455 miliar antara PT TLI dan PT PI, sehingga masing-masing rekening mencatat kredit Rp43,455 miliar.
Transaksi ini dilakukan pada hari yang sama yakni 14 Mei 2020. Menutup transaksi pada tanggal tersebut, PT TLI kemudian mentransfer kembali Rp10 miliar kepada PT CM.
Pada 30 April 2020, PT TLI yang baru didirikan pada 20 Februari 2020 kemudian masuk menjadi salah satu pemegang saham di PT PI dengan porsi 33,33 persen. Saham PT PE terpangkas 18,33 persen menjadi 36,67 persen dan saham pendiri (Bintoro Iduansjah dan The Budi Tejo Prawiro) masing-masing susut menjadi 15 persen.
Setelah PT PE bangkrut, saham PT TLI di PT PI bertambah lagi menjadi 81,56 persen, sedangkan Bintoro dan The Budi masing-masing tersisa 9,22 persen.
Berita Selanjutnya: Setujui RKAB PT Pada Idi, Pejabat Ditjen Minerba Diduga Terlibat Pengalihan Utang PT Petro Energy