Menguak Peran Pengusaha Jimmy Masrin dalam Kasus Korupsi LPEI

Jimmy Masrin

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang melibatkan PT Petro Energy (PE), salah satunya adalah Jimmy Masrin selaku Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT PE.

Penetapan Jimmy Masrin sebagai tersangka kasus rasuah tersebut berselang hampir setahun sejak KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap PT PE pada Juli 2024. Selain Jimmy, KPK juga menjatuhkan status tersangka untuk Dwi Wahyudi selaku Direktur pelaksana I LPEI, Arif Setiawan selaku Direktur Pelaksana 4 LPEI, Newin Nugroho selaku Direktur Utama PT PE, dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku Direktur PT PE.

KPK sebelumnya mencekal Jimmy Masrin bersama Newin Nugroho, Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan sejak Mei 2024. Namun pencekalan yang berlaku 6 bulan ini diduga tidak diperpanjang, terbukti saat diumumkan oleh KPK sebagai tersangka pada Senin (3/3/2025), Jimmy diketahui berada di luar negeri.

Berdasarkan penelusuran redaksi, Rabu (5/3/2025), Jimmy terdeteksi sedang berada di Selandia Baru. Informasi menyebut pendiri Indonesia Masters itu sedang mengikuti turnamen golf New Zealand Open sejak akhir Februari. Dia berangkat bersama beberapa pegolf Indonesia, antara lain Danny Masrin dan Jubilant Arda Harmidy.

Danny Masrin merupakan anak Jimmy Masrin yang dikenal sebagai pegolf profesional, sementara Jubilant adalah Dirut PT Tunas Laju Investama (TLI) yang menguasai 81,57% saham perusahaan tambang batubara PT Pada Idi yang berlokasi di Barito Utara, Kalimantan Tengah. Di PT TLI, Jimmy mengantongi 94,80% saham dan sisanya PT Caturkarsa Megatunggal (CM). Adapun di PT Pada Idi, Jubilant juga menjabat Dirut tetapi dikabarkan mundur dan memilih menjadi komisaris sejak gonjang-ganjing kasus LPEI.

Kasus LPEI ini menjadi sorotan karena nilai kerugian negara yang ditimbulkan terbilang fantastis. Apalagi belakangan banyak kasus mega-korupsi yang terbongkar ke publik. Menurut Plt Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo, potensi kerugian negara dari kasus korupsi LPEI yang melibatkan 11 debitur mencapai Rp11,7 triliun, dimana PT PE sendiri menyumbang hampir Rp1 triliun.

Lalu bagaimana Jimmy Masrin yang dikenal sebagai pengusaha sukses terjerat dalam kasus korupsi LPEI?

Untuk diketahui, PT PE dikendalikan oleh PT CM, dimana Jimmy dan kakaknya Indrawan Masrin masing-masing menggenggam 47,45% saham. PT CM juga dikenal sebagai pengendali PT Lautan Luas Tbk (LTLS) dengan menguasai 56,59% saham. Di LTLS, Indrawan menjabat Dirut dan Jimmy sebagai Wakil Dirut.

Melalui PT PE, Jimmy Masrin dan PT CM kemudian mengakuisisi PT Pada Idi pada 2018. Berdasarkan informasi dari Minerba One Data Indonesia (MODI), PT Pada Idi pernah melaporkan kepemilikan saham ke Kementerian ESDM pada 2019 dengan komposisi Petro Energy 55%, sisanya Bintoro Iduansjah dan The Budi Tejo Prawiro (pendiri) masing-masing 22,5%. Saat itu, Dirut PT PE Newin Nugroho ditunjuk menjadi Dirut PT Pada Idi.

Setelah PT PE dipailitkan pada 2020, Jimmy Masrin mendirikan PT Tunas Laju Investama (TLI) untuk mengambilalih kepemilikan PT PE. Komposisi saham PT Pada Idi lalu berubah menjadi PT PE 36,67%, TLI 33,33%, sementara Bintoro dan Budi masing-masing menjadi 15%. Seiring dengan perubahan saham ini, Jubilant Hamidy ditunjuk menjadi Dirut PT TLI sekaligus Dirut PT Pada Idi.

Namun informasi ini tidak dilaporkan ke MODI. Pada 2024, PT Pada Idi baru melaporkan informasi kepemilikan saham perseroan dengan komposisi saham yang sudah berubah, yakni TLI 81,56%, sisanya Bintoro dan Budi masing-masing tinggal 9,22%.

Tidak ada nama Jimmy Masrin di akta TLI. Komisarisnya tercatat atas nama Liza Sutrisno, Managing Director OB Golf & Lifestyle, penerbit majalah golf. Adapun dirutnya tercatat atas nama Jubilant Arda Harmidy. TLI diduga terafiliasi dengan PT Tunas Niaga Energi (TNE), perusahaan trader dan pengangkutan batu bara yang juga dikelola oleh Jubilant sebagai Dirut. Di TNE ini, Jimmy dan Indrawan adalah pemilik manfaat (beneficial ownership).

PT PE terafiliasi langsung dengan LTLS. Hal ini dinyatakan sendiri oleh LTLS dalam surat pernyataan yang diumumkannya pada 27 Juni 2019 melalui website Bursa Efek Indonesia dan website perseroan. Pernyataan ini terkait dengan pembelian 25% saham PT PE di PT Taruna Bina Sarana (TBS) oleh perseroan.

LTLS juga mengakui adanya hubungan afiliasi dengan PT PE dan TBS, baik langsung maupun tidak langsung, serta dikendalikan oleh pihak yang sama dan terdapat hubungan pengawasan antara ketiganya.

PT PE adalah entitas anak dari PT CM yang merupakan pengendali dari LTLS. Artinya PT PE dan LTLS dikendalikan oleh pihak yang sama yakni PT CM, sementara LTLS adalah entitas pengendali dari PT Cipta Mapan Logistik yang merupakan pengendali TBS.

Setelah Jimmy Masrin menjadi tersangka, LTLS langsung mengklarifikasi bahwa kasus LPEI tidak ada kaitannya dengan perserian. “Itu terkait dengan kapasitas beliau di entitas lain dan bukan dalam kapasitasnya sebagai bagian dari manajemen PT Lautan Luas Tbk,” kata Direktur LTLS Elly Mariana Tansil dalam keterbukaan informasi, Kamis (6/3/2025).

Drama Pailit

Sebelum dikuasai Jimmy Masrin, Newin Nugroho diduga sudah menjalin hubungan bisnis dengan PT Pada Idi. Pada 2011, PT Mitrada Sinergy yang dipimpin Newin pernah bersepakat dengan Bintoro Iduansjah untuk membeli 27,5% saham di PT Pada Idi.

Namun pembelian saham oleh Mitrada Sinergy ini bermasalah. Hal ini terungkap dari gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Mitrada Sinergy kepada Bintoro di PN Jakarta Pusat pada 8 Maret 2022.

Menariknya, ada pemohon lain dalam gugatan ini yaitu PT PE dan PT Solusi Pandu Virtua. Padahal PT PE sudah dinyatakan pailit pada 2020. Perkara PKPU pertama ini ditolak majelis hakim, sehingga Mitrada kembali mengajukan PKPU kepada pihak Bintoro pada 27 September 2023.

Newin Nugroho diyakini merupakan ‘orang kepercayaan’ Jimmy Masrin sebelum keluar dari PT PE dan PT Pada Idi. Mereka diduga ‘pecah kongsi’ setelah muncul tuduhan Newin menggelontorkan uang milik PT PE sebanyak 8 kali hingga total US$17,2 juta selama Januari-Maret 2015 ke PT Kutilang Paksi Mas (KPM), dimana Newin juga menjabat Direktur.

Pengiriman duit dalam jumlah besar ini disebut tanpa underlying documents ataupun persetujuan dari dewan komisaris PT PE. Namun, sumber menyebutkan kucuran uang itu untuk pembiayaan tambang batu bara PT Arsy Nusantara di Kalteng. PT KPM juga diduga menggunakan dana kredit LPEI ke PT PE untuk pembiayaan pembelian solar, tetapi akhirnya bermasalah.

Pengiriman dana PT PE ke PT KPM itu terungkap dalam dakwaan jaksa terhadap Newin Nugroho dalam sidang di PN Jakarta Selatan pada Oktober 2023. Kasus penggelapan dana ini dijadikan alasan pemailitan PT PE pada 2020.

PT KPM sendiri pernah dituntut pailit oleh kreditor pada 2015, namun berhasil lolos setelah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan PKPU secara sukarela pada Maret 2016. Saat itu, perusahaan yang bergerak di bisnis solar (HSD) dan pelumas untuk industri ini kesulitan keuangan hingga tidak mampu membayar utang total Rp1,9 triliun.

Pertanyaan kemudian muncul, apakah tindakan Newin itu merupakan penyebab utama PT PE pailit? Pasalnya, ada informasi yang mengungkap aliran dana dari PT CM ke PT Pada Idi senilai Rp10 miliar sebanyak empat kali, serta transfer dana dari PT Pada Idi ke PT CM sebesar Rp10 miliar juga sebanyak empat kali.

Anehnya lagi, PT Pada Idi pernah mengirimkan uang sebesar Rp2 juta kepada TLI untuk keperluan pembukaan rekening bank. Padahal, TLI adalah calon investor yang akan mengambilalih PT Pada Idi.

Informasi itu juga menyebutkan, pembayaran akuisisi 55% saham PT Pada Idi oleh PT PE sebenarnya belum lunas hingga saat ini. Akuisisi itu juga disertai dengan pemailitan aset dan pengambilan aset berupa terminal khusus (tersus) PT Pada Idi. Namun aset-aset PT PE yang saat itu ditangani oleh kurator Fitri Safitri dipertanyakan proses lelangnya.

Ambil Alih Utang

Berdasarkan informasi yang dihimpun, PT Pada Idi telah mengambilalih utang PT PE total senilai US$60 juta, diduga terkait dengan kasus LPEI. Pengambilalihan utang oleh PT Pada Idi ini terdiri dari utang PT PE sebesar US$50 juta ke LPEI dan US$10 juta ke PT CM. Aksi korporasi ini dikabarkan disepakati para pihak pada Februari 2021, tidak lama setelah perusahaan itu dinyatakan pailit pada 29 Juni 2020.

Informasi itu juga mengungkapkan, kewajiban PT PE kepada LPEI senilai US$50 juta akan dibayar secara bertahap oleh PT Pada Idi pada 2024-2025. Adapun kewajiban kepada PT CM senilai US$10 juta dibayar US$2 juta pada 2021 dan sisanya US$8 juta pada 2022 hingga 2025.

Ditemukan data lain yang mengindikasikan PT Pada Idi melakukan revisi feasibility study (FS) cadangan batu bara dari semula 6,1 juta ton dan SR (stripping ratio) 6 pada awal 2012 menjadi 20 juta ton pada Januari 2019. Revisi FS yang diragukan kebenarannya ini diusulkan Pada Idi dalam RKAB (Rencana Kerja Anggaran dan Belanja) kepada Kementerian ESDM dan disetujui oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) saat itu.

Modus ini bisa dipahami dengan mudah, sebab bagi perusahaan tambang, cadangan sangat penting karena bernilai tinggi untuk appraisal perbankan. Makin besar cadangan, maka makin tinggi nilai perusahaan itu karena dianggap memiliki potensi penghasilan tambang yang besar pula.

Tidak berhenti di situ, Pada Idi dikabarkan kembali merevisi cadangan menjadi 35 juta ton dengan meningkatkan SR atau rasio pengupasan batu bara. Dirjen Minerba kembali menyetujui revisi ini sehingga meningkatkan daya tawar PT Pada Idi. Lonjakan cadangan ini diduga dimanfaatkan oleh PT Pada Idi untuk menegosiasikan pengambilalihan utang PT PE ke LPEI.

Indikasi ini perlu didalami oleh penyidik KPK, termasuk memeriksa direksi PT Pada Idi yang bertanggung jawab di bidang operasi saat itu dan pejabat Kementerian ESDM yang bertanggung jawab. Sebab pihak perusahaan tidak mungkin bekerja sendirian, tetapi perlu ‘dukungan’ oknum pejabat untuk memuluskan rencana mereka.

Langkah KPK menetapkan tersangka dalam kasus LPEI Ini patut diapresiasi. Meski demikian, KPK harus bergerak lebih cepat lagi untuk mencegah pengilangan barang bukti oleh pihak-pihak yang diduga terlibat. Ada informasi yang beredar di kalangan pengusaha tambang, bahwa PT TLI telah melepas sahamnya di PT Pada Idi ke investor baru yang didukung pemodal kuat dari Tiongkok. Namun, ketika dicek, perubahan pengurus perusahaan ini belum tercantum di MODI (modi.esdm.go.id).

Meski demikian, masih menurut informasi itu, investor yang belakangan diketahui bernama PT Kaltim Diamond Coal (KDC) sudah mengerahkan puluhan alat berat untuk membuka lahan sekitar 100 hektare dan mengeruk batu bara di kawasan tambang PT Pada Idi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *