JAKARTA – Perusahaan tambang batubara PT Pada Idi diduga memanipulasi dan menyembunyikan data dalam Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) yang diajukan kepada Kementerian ESDM guna membantu PT Petro Energy mengalihkan utang dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebesar US$60 juta atau hampir Rp1 triliun.
Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, dugaan manipulasi data yang dilakukan PT Pada Idi tersebut antara lain dengan cara merevisi feasibility study (FS) cadangan batubara yang diusulkan dalam RKAB secara signifikan.
Semula PT Pada Idi melakukan revisi FS dari 6,1 juta ton dan SR (stripping ratio) 6 pada awal 2012 menjadi 20 juta ton pada Januari 2019. Diduga tidak cukup, perusahaan itu kembali merevisi cadangan menjadi 35 juta ton dengan menaikkan SR sampai dengan di atas 20. Revisi FS yang signifikan ini dilakukan menjelang rencana IPO (initial public offering) PT Pada Idi yang akhirnya kandas.
Revisi FS yang dinilai janggal dan diragukan kebenarannya ini diusulkan PT Pada Idi dalam RKAB yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan disetujui oleh pejabat di Direktur Jenderal Minerba saat itu.
Berkat cadangan yang besar itu, prospek PT Pada Idi dinilai lebih menjanjikan dan ini dimanfaatkan oleh PT Petro Energy untuk menegosiasikan utangnya ke LPEI. Setelah RKAB PT Pada Idi disetujui, PT Petro Energy pun berhasil mendapatkan restu dari LPEI untuk mengalihkan utang (cessie) kepada PT Pada Idi.
Untuk diketahui, PT Petro Energy saat itu mengendalikan PT Pada Idi setelah mengambilalih 55 persen saham pada 2018. Masuknya PT Petro Energy memangkas porsi saham dua orang pendiri PT Pada Idi, yakni Bintoro Iduansjah dan The Budi Tejo Prawido, hingga masing-masing tinggal 22,5 persen.
PT Petro Energy merupakan lini usaha dari PT Caturkarsa Megatunggal (CM) yang dikendalikan Jimmy Masrin dan Indrawan Masrin. Di PT Petro Energy, Jimmy Masrin menjabat Komisaris Utama. Dia bersama Newin Nugroho selaku Dirut PT Petro Energy dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku Direktur sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi LPEI.
Menurut pengakuan Bintoro dalam suratnya ke LPEI yang diperoleh redaksi, pengalihan utang (cessie) PT Petro Energy kepada PT Pada Idi itu tidak dilakukan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bintoro kemudian melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya, bahkan polisi disebut sudah menetapkan Susy Mira Dewi Sugiarta sebagai tersangka. Namun kasus ini tidak diketahui kelanjutannya.
Dalam surat tertanggal 19 Desember 2022 itu, Bintoro juga meminta penjelasan kepada LPEI (Eximbank) mengenai bukti persetujuan RUPS PT Pada Idi, serta mempertanyakan prosedur dan dasar pengalihan utang (cessie) PT Petro Energy kepada PT Pada Idi. Bintoro dan The Budi diduga tidak dilibatkan dalam transaksi cessie tersebut.
Sebagai informasi, Bintoro dan The Budi pernah bersepakat dengan PT Mitrada Sinergy pada 24 Januari 2011 untuk menjual saham mereka di PT Pada Idi masing-masing 27,5 persen kepada perusahaan yang dikelola oleh Newin Nugroho sebagai Dirut itu.
Sengketa muncul karena PT Mitrada Sinergy disebut belum melunasi pembelian saham, tetapi kemudian mengajukan gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap pemegang saham PT Pada Idi yang dianggap berutang. Gugatan pertama ditolak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, tapi gugatan kedua yang dimohonkan pada 27 September 2022 dikabulkan majelis hakim meski materinya sama.
Dalam gugatan kedua ini, PT Mitrada Sinergy maju bersama pemohon lain, yaitu PT Petro Energy, PT Solusi Pandu Virtua, Bank Perkreditan Rakyat Djojo Mandiri Raya, dan PT Pada Idi. Anehnya, meskipun gugatan PKPU ini baru putus pada 2023, nyatanya sebagian saham Bintoro dan The Budi sudah diambilalih oleh PT Petro Energy sejak 2018.
Seiring dengan polemik ini, susunan pemegang saham dan direksi PT Pada Idi mengalami sedikitnya lima kali perubahan sejak 2018 hingga 2024. Namun perusahaan tambang batubara yang berlokasi di Barito Utara, Kalimantan Tengah itu tercatat hanya dua kali melaporkan informasi ke sistem MODI (Minerba One Data Indonesia) yakni pada 2019 dan 2024.
Perubahan saham terjadi ketika PT Petro Energy mengambilalih 55 persen saham PT Pada Idi pada 2018. Kemudian pada April 2020, setelah PT Tunas Laju Investama (TLI) mengakuisisi 33 persen saham. Lalu pada Oktober 2021 saat TLI menambah porsi sahamnya menjadi 70 persen, dan terakhir pada Mei 2022 naik lagi menjadi 81,56 persen.
Namun, berdasarkan data MODI, PT Pada Idi baru melaporkan perubahan saham itu pada 2024. Anehnya, perusahaan tersebut bisa mengantongi persetujuan RKAB dari Ditjen Minerba. Setelah ramai disorot dan isu masuknya PT Kaltim Diamond Coal, PT Pada Idi melaporkan perubahan direksi pada 30 Januari 2025. Namun di MODI, susunan pemegang sahamnya belum berubah.
Harus Diselidiki
Saat diminta tanggapannya, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menduga PT Pada Idi sengaja menutupi dan memanipulasi informasi untuk memuluskan rencana pengalihan utang PT Petro Energy.
“PT Pada Idi diduga bekerja sama dengan oknum di Ditjen Minerba, khususnya Direktorat Pembinaan Pengusahaan Batu Bara untuk meloloskan RKAB meskipun datanya diduga tidak benar. Kalau benar demikian, pejabat Ditjen Minerba bisa dituduh berkolusi dengan para tersangka kasus korupsi LPEI,” ujarnya, Minggu (17/3/2025).
Menurut Yusri, pejabat di Ditjen Minerba seharusnya bisa mencium berbagai kejanggalan yang dilakukan PT Pada Idi, mulai dari lonjakan cadangan dalam revisi FS yang tidak rasional, tidak melaporkan informasi perubahan saham, hingga pelanggaran izin pertambangan dan pencemaran lingkungan.
Dia mendorong KPK ataupun Kejaksaan Agung menyelidiki pengalihan utang (cessie) PT Petro Energy kepada PT Pada Idi yang disepakati pada Februari 2021 itu sebab diduga kuat terkait dengan kasus korupsi LPEI dan merugikan negara hampir Rp1 triliun.
Berdasarkan informasi, utang yang dialihkan kepada PT Pada Idi sebesar US$60 juta, terdiri dari utang PT Petro Energy kepada LPEI sebesar US$50 juta dan kepada PT Caturkarsa Mengatunggal US$10 juta.
Kewajiban PT Petro Energy kepada LPEI itu akan dibayar secara bertahap oleh PT Pada Idi pada 2024-2025. Adapun kewajiban kepada PT Caturkarsa Megatunggal senilai US$10 juta dibayar US$2 juta pada 2021 dan sisanya US$8 juta dibayar pada 2022 hingga 2025.