JAKARTA – Pancasila yang bersifat universal bisa dijadikan pedoman nilai bagi dunia dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Apalagi, setelah Pancasila diakui sebagai Memory of the World oleh UNESCO-PBB, Indonesia bisa menginspirasi dunia dalam perlindungan hak anak berdasarkan nilai inti Pancasila, yaitu gotong royong, toleransi dan kemanusiaan.
Demikian disampaikan Dr. Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, menanggapi partisipasi Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri sebagai salah satu pembicara di Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Dunia untuk Hak-hak Anak di Aula Clementine, Istana Kepausan, Vatikan, Senin (3/2/2025).
Konferensi dihadiri tokoh-tokoh dunia yang memiliki perhatian dan keprihatinan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sedunia. Difasilitasi oleh Paus Fransiskus, konferensi dihadiri antara lain oleh Ratu Rania dari Jordania dan mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore.
Dr. Djumala, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar untuk Austria dan PBB di Wina, mengungkapkan bahwa hak anak sudah merupakan masalah dunia. Di berbagai belahan dunia jutaan anak kehilangan hak-haknya akibat konflik bersenjata, perdagangan manusia, hingga kekerasan di dalam keluarga.
Menurut dia, lebih dari 40 juta anak saat ini terpaksa mengungsi akibat konflik bersenjata. Sementara sekitar 100 juta anak kehilangan tempat tinggal. Sekitar 160 juta anak menjadi korban kerja paksa, perdagangan manusia, kekerasan, dan eksploitasi, termasuk dalam pernikahan paksa.
Selama konferensi, terungkap pula bahwa sekitar 150 juta anak di dunia tidak memiliki identitas hukum sehingga mereka tidak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, serta rentan diperjualbelikan. Dalam konteks itu, Megawati menyerukan perlunya kolaborasi lintas negara untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak di seluruh dunia.
Dubes Djumala menilai keikutsertaan Megawati tepat waktu. Sebab, dunia kini seperti kehilangan nilai dalam melaksanakan diplomasi dan hubungan antar-negara. Dewasa ini kebijakan luar negeri suatu negara lebih sering terekspose sebagai pelaksanaaan diplomasi “cash and carry”, pragmatis dan berdasar kalkulasi untung rugi. Padahal, hubungan antar negara seharusnya juga dipandu oleh nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
“Hubungan antar negara itu tidak selamanya didasarkan pada hitungan untuk rugi jangka pendek. Setiap negara punya kewajiban sosial kemanusiaan untuk saling kerja sama dalam mengatasi masalah hak anak”, ungkap Dubes Djumala dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi.
Partisipasi Megawati di konferensi itu dinilai tepat waktu karena PBB melalui UNESCO pada Mei 2023 menganugerahkan status Memory of the World bagi pidato Pancasila Bung Karno berjudul “To Build the World Anew” di Sidang Umum PBB, New York, pada 30 September 1960.
Dengan penganugerahan itu, sejatinya nilai Pancasila sudah diakui dunia sebagai nilai-nilai universal yang selaras dengan nilai-nilai kebajikan semua negara di dunia. Pancasila bisa digunakan sebagai instrumen diplomasi, yaitu diplomasi Pancasila.
“Diplomasi Pancasila adalah upaya Indonesia menyemaikan adab gotong-royong (kerja sama), musyawarah (dialog) dan toleransi (saling menghargai) sebagai inspirasi di dunia dalam menyelesaikan berbagai masalah global, termasuk dalam upaya melindungi dan memenuhi hak anak sedunia,” kata Dubes Djumala.