JAKARTA – Inisiatif damai yang digagas Amerika Serikat bersama Rusia untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina diyakini akan mengubah geopolitik Eropa dan Indo-Pasifik. Upaya damai AS-Rusia itu akan melemahkan dukungan militer dari AS, Uni Eropa dan NATO untuk Ukraina.
“Jika AS-Rusia mencapai kesepakatan sesuai dengan kepentingan masing-masing, inisiatif itu bahkan akan mempercepat penghentian perang dan merugikan Ukraina,” kata Dr. Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Rabu (5/3/2025), menanggapi manuver diplomatik AS untuk menghentikan perang Rusia-Ukraina.
Sebagaimana diberitakan luas oleh media internasional, Menlu AS Marco Rubio bertemu dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov di Riyadh, Arab Saudi, pada 18 Februari 2025 lalu. Pertemuan yang dimediasi oleh Pangeran Mohammad bin Salman, putra mahktora Kerajaan Saudi Arabia, itu bertujuan menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung tiga tahun.
Lebih jauh Dr. Djumala, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Wina, mengatakan pendekatan AS-Rusia itu akan berdampak pada konstelasi geo-strategi dunia dalam dua dimensi.
Pertama, dilihat dari geopolitik Eropa, manuver AS dan Rusia yang membahas perang Rusia-Ukraina tanpa melibatkan Ukraina membuat Uni Eropa kurang berkenan.
AS menyadari UE tidak solid dalam mendukung Ukraina karena setiap anggota UE punya kepentingan berbeda, baik terkait dengan kebutuhan gas dari Rusia maupun dengan perbatasan dengan Rusia.
Ukraina mampu bertahan karena dukungan tiga pihak: AS, UE dan NATO, dengan AS sebagai pemain utamanya. Perubahan posisi AS yang mendekat ke Rusia akan mengubah imbangan geopolitik di Eropa. “Pendekatan AS ke Rusia itu jelas memperlemah posisi Ukraina, yang membuat perang Rusia-Ukraina bisa lebih cepat berakhir,” kata pakar hubungan internasional dari FISIP Unpad ini.
Perimbangan Kekuatan
Pada bagian lain, Dubes Djumala menegaskan bahwa dari konteks geopolitik Asia Pasifik, inisiatif damai AS-Rusia berimplikasi pada imbangan kekuatan di kawasan.
Menurut dia, AS memprioritaskan kebijakan “membendung China” dalam politik luar negerinya. Kawasan Eropa dan Timur Tengah tidak akan menjadi prioritas lagi. Ini dilakukan karena AS ingin fokus di kawasan Asia Pasifik untuk menghadang China.
Upaya AS dan sekutunya untuk membendung China di Asia Pasifik sangat kasat mata. Hal itu bisa dilihat dari pembentukan aliansi AUKUS, pembukaan kantor penghubung NATO di Tokyo dan kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina, yang dinilai sebagai bagian dari strategi geopolitik AS untuk menahan gerak laju pengaruh China di Asia Pasifik, utamanya di Laut China Selatan dan Selat Taiwan.
“Apabila AS berhasil merangkul Rusia dan mengendurkan dukungannya kepada UE dan NATO, maka perang Rusia-Ukraina bisa cepat selesai. Selesainya perang Rusia-Ukraina memungkinkan AS fokus menghadapi China di Asia Pasifik,” ujarnya.
Pada titik inilah situasi politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik akan menjadi lebih dinamis yang memerlukan perhatian ekstra serius dari negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.
“Kalkulasi kepentingan Indonesia di bidang politik, ekonomi dan militer terhadap dua negara kuat, AS dan China, di kawasan ini perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati,” kata Dubes Djumala.