JAKARTA – Jika benar Presiden Prabowo Subianto akan memerangi korupsi dan memburu koruptor sampai ke kutub es, disarankan segera menonaktifikan sementara Erick Thohir sebagai Menteri BUMN setelah terkuak kerugian Pertamina mencapai Rp 1 kuadriliun untuk periode 2018 – 2023 oleh Kejaksaan Agung akibat dugaan permainan impor minyak di Pertamina Group.
“Sebab, saat ini Tim Pidsus Kejagung sudah mentersangkakan 6 direksi Subholding Pertamina dan 3 direktur perusahasn swasta, ke depan diperkirankan ada beberapa anggota direksi Pertamina holding dan subholding akan menyusul menjadi tersangka,” kata Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, Minggu (2/3/2025).
Anehnya, lanjut Yusri, Erick Thohir yang selama lebih empat bulan ini bungkam ketika Tim Pidsus Kejagung sejak awal Oktober 2024 mulai menggeledah kantor dan rumah-rumah Direksi Pertamina Patra Niaga (PPN), Pertamina International Shipping (PIS), Kilang Pertamina International (KPI) dan Pertamina Hulu Energi (PHE), mendadak pada Sabtu (1/3/2025) mengatakan akan mengevaluasi dan mengganti direksi subholding yang sudah jadi tersangka, setelah sehari sebelumnya bertemu dengan Jaksa Agung sekitar pukul 11.00 malam.
“Perlu diketahui, saya sudah pernah diwanwancara selama 3 jam oleh sekitar 14 penyidik Pidsus di Gedung Bundar pada awal Januari 2025, maaf sesuai kesepakatan bahwa saya harus menjaga kerahasiannya,” ungkap Yusri.
Tetapi yang pasti, dia menilai pertanyaan yang diajukan tim penyidik Pidsus Kejagung sangat profesional dan mereka sudah memiliki alat bukti lebih dari cukup untuk mengungkapkan peristiwa pidana yang kerugiannya sangat dahsyat dan melibatkan banyak pihak.
“Karena soal kualitas dan harga BBM itu menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak termasuk kita sendiri, maka perlu kita dukung penuh pihak Kejaksaan Agung dalam membongkar dugaan permainan impor ini agar terang benderang,” ujar Yusri.
Menurut mantan Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, setelah dia menggebrak dugaan penyimpangan proses bisnis di Pertamina, sekitar 7 bulan dia memohon bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk melaporkan apa yang terjadi di Pertamina, tapi entah alasan apa Presiden Jokowi saat itu mengabaikannya.
“Namun seluruh rakyat Indonesia belakangan ini menyaksikan busuknya proses bisnis pengadaan minyak di Pertamina tak bisa lepas dari tanggung jawab Menteri BUMN dan mantan Dirut Pertamina,” tegas Yusri.
Yang paling menyedihkan, lanjut Yusri, janji kampanye Jokowi pada tahun 2014 akan membesarkan Pertamina agar bisa mengalahkan Petronas, terbukti benar bisa mengalahkan dalam hal korupsinya. Oleh karena itu, kerugian tersebut harus menjadi tanggung jawab Erick Tohir dengan Nicke Widyawati.
“Ironisnya, di saat bersamaan, mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan yang berhasil memberikan laba kumulatif hingga akhir 2024 sebesar USD 97,5 juta (kurs Rp 16.500) atau setara Rp 16,087 triliun untuk Pertamina atas kontrak pengadaan LNG dengan Corpus Cristy Limited USA selama 20 tahun dimulai tahun 2019, malah oleh majelis hakim Makamah Agung memperberat hukumannya dari 9 tahun menjadi 13 tahun, harusnya Karen dibebaskan dari segala dakwaan, ini benar-benar kasus tragedi sontoloyo,” sebut Yusri.
Pasalnya, kata Yusri, MSA ( Master Sales and Purchase Agreement) antara Pertamina dengan Corpus Cristy yang dibuat Karen pada 2012 dan 2013 semua isinya telah diamandemen pada 2015 oleh Dwi Sucipto sebagai Dirut Pertamina, realisasi dan invoice berdasarkan MSPA 2015 bukan MSPA 2012, tapi Karen disuruh tanggung jawab. “Aneh benar ini.”
Masih menurut Ahok, papar Yusri, pengangkatan anggota direksi Pertamina hingga Subholding merupakan kewenangan Dirut Pertamina dengan keputusan Menteri BUMN. Ahok mengaku selalu diabaikan sebagai Komut Pertamina.
“Tak hanya itu, Kementerian BUMN tugas dan fungsinya membina dan mengawasi semua proses bisnis BUMN hingga mengevaluasi kinerja anggota direksi terkait key performace indikator (KPI) direksi secara kolegial sesuai tugas dan fungsi dan tanggungjawab masing-masing anggota direksi dan KPI direksi secara individual merupakan penjabaran KPI itu sebagai alat ukur untuk menilai kinerja perusahaan dan atau direksi,” kata Yusri.
Bahkan, kata Yusri, Kementerian BUMN setiap tahunnya mengevaluasi usulan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) hingga memberikan persetujuannya.