JAKARTA – Subholding PT Pertamina Gas Negara Tbk sejak Mei 2024 telah membatasi konsumsi gas pipa untuk pelanggan industri mereka di Jawa Bagian Barat (JBB) menjadi hanya 60 persen dari volume terkontrak dan sisanya dipenuhi dengan gas LNG yang lebih mahal.
Pembatasan oleh emiten berkode PGAS itu disebut dengan alasan menurunnya pasokan gas dari lapangan Corridor-Grissik Medco E&P Sumatera Selatan untuk pasokan jaringan pipa transmisi South Sumatera-West Java (SSWJ).
Realitas tersebut pun telah dibenarkan oleh Direktur Komersial PGAS Ratih Esti Prihatini saat dikonfirmasi oleh awak media, Rabu (22/1/2025) lalu. Ia juga menegaskan apabila terdapat gangguan dari pasokan gas pipa, PGAS telah menyiapkan LNG untuk menjaga pengaliran kepada pelanggan agar tidak terjadi kendala.
Pasalnya, pada hari itu linepack pada batas level 780 MMCFD (million standard cubic feet per day), yaitu berada di bawah batas minimum 800 MMCFD, maka situasi ini mempengaruhi tekanan jaringan pada pipa yang berpotensi pada pelanggan besar seperti PLN Indonesia Power Tanjung Priok dan PLTGU Muara Tawar.
Mengenai hal itu, Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman menyatakan keheranannya PGAS tidak pernah menyampaikan informasi mengenai kontrak pasokan LNG di website IDX.
“Padahal semestinya kontrak pasok LNG ini harus dilaporkan sebagai keterbukaan informasi emiten dalam rangka memenuhi kewajiban Peraturan OJK Nomor 31 tahun 2015 dan UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995,” kata Yusri, Minggu (9/1/2025).
Menurut Yusri, fakta tersebut juga bertentangan dengan pernyataan Corporate Secretary PGAS Fajriyah Usman kepada media pada Kamis (23/1/2025) bahwa semua informasi secara umum sudah disampaikan dan bisa dicek di website IDX.
“Rekan media CERI telah mengonfirmasi ulang terkait temuan tersebut kepada Corsec PGAS sejak Minggu (26/1/2025). Lantaran sedang cuti bersama, Dirut PGN Arief Handoko dan Corsec Fajriyah pada Selasa (28/1/2025) pagi berjanji pada awal Februari akan mengundang CERI untuk menjelaskan semuanya. Namun hingga berita ini dirilis, janji tersebut tidak ditepati. Inilah contoh cara manajemen perusahaan terbuka BUMN dalam merespons pertanyaan publik,” beber Yusri.
Setelah mengecek ulang di website IDX, tidak ditemukan informasi mengenai kontrak LNG yang ditanyakan oleh CERI tersebut. Terakhir, pada laman keterbukaan informasi PGAS di website IDX hanya ada informasi tentang perolehan atau kehilangan kontrak penting.
Anehnya lagi, lanjut Yusri, di akhir tahun lalu PGAS kembali menyurati pelanggan industri di Jawa Bagian Barat (JBB) yang seolah-olah memaksa pelanggan industri untuk menerima penerapan kuota pasok gas pipa yang lebih rendah lagi, hanya 45 persen gas pipa dan memperbesar porsi LNG menjadi 55 persen dengan harga jual yang jauh lebih mahal dari harga sebelumnya.
“Ironisnya, harga jual LNG yang mencapai USD 16,7 per MMBTU itu tidak diketahui berapa volume terkontraknya, berapa harga belinya dan sekaligus dari mana asalnya. Hal ini makin mencurigakan, apakah strategi ini sengaja diterapkan untuk menambah pendapatan akibat jebolnya volume penjualan gas PGAS?,” tanya Yusri.
Dia mengatakan kondisi ini menjadi perhatian para aktivis industri pengguna gas PGN, mengingat pada saat awal menjabat Dirut PGAS, Arief Handoko pada September 2023 pernah akan menaikkan harga jual gas non Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebagai dampak kenaikan harga beli gas dari Medco E&P.
“Untunglah saat itu Menteri ESDM Arifin Tasrif masih berpikiran sehat dan menolak kenaikan harga gas industri tersebut,” kata Yusri.
Dia menilai kebijakan PGAS sekarang malah semakin parah sebab menaikkan harga jual gasnya dengan memanfaatkan kondisi penurunan pasokan dan seolah-olah menambal kekurangan pasokan tersebut dengan LNG.
“Dengan demikian manajemen PGAS dapat terus mempertahankan margin yang tinggi di tengah kondisi turunnya pasokan yang tentunya sekaligus patut dicurigai sebagai taktik untuk menaikkan nilai tawar dalam negosiasi tantiem pada RUPS tahunan nanti,” ulas Yusri.
Lebih lanjut Yusri menguraikan, pemanfaatan LNG sebagai penambal kekurangan pasokan gas pipa PGAS memang dapat dianggap sebagai keputusan yang paling masuk akal untuk dilakukan PGAS saat ini, mengingat sulitnya mendapat pasokan gas bumi baru dari sekitar wilayah infrastruktur gas PGAS.
“Namun, di tengah kondisi sulit saat ini semestinya PGAS dapat lebih transparan dalam meneruskan beban biaya penggunaan LNG kepada pelanggan industrinya,” ungkap Yusri.
Sayangnya, lanjut Yusri, mendadak PGAS memberlakukan penerapan kuota atas konsumsi gas bumi dan sekaligus memaksakan pelanggan industri untuk menggunakan LNG dengan porsi yang sudah ditentukan oleh PGAS tanpa menghitung berapa realisasi jumlah LNG yang disalurkan melalui jaringan pipa gas PGAS.
“Semestinya, volume LNG yang ditagihkan kepada pelanggan harusnya berkesesuaian dengan jumlah LNG yang masuk ke dalam jaringan pipa gas dan benar-benar digunakan untuk menambal kekurangan pasokan gas bumi bagi pelanggan industri,” papar Yusri.
Konon kabarnya, ungkap Yusri, saat ini PGAS sudah secara otomatis menagih pelanggan industri dengan harga LNG maksimum 55 persen dari kontrak volume. Padahal sampai hari ini belum ada satu pun kargo LNG jatah PGAS yang masuk ke dalam jaringan distribusi milik PGAS. Timbul pertanyaan, mengapa bisa-bisanya PGAS sudah langsung menagih sampai maksimum 55 persen kontrak volume pelanggan industri JBB dengan harga LNG?
“Oleh sebab itu, untuk menghindari kerugian konsumen industri jadi ‘boncos’ dan menjaga nama baik Pertamina serta komitmen Pemerintah menetapkan harga gas USD 6 per MMBTU bagi tujuh industri, CERI berharap Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Pertamina Holding membentuk tim investigasi untuk menelisik temuan CERI ini,” tegas Yusri.
CERI Curiga Alasan ‘Aneh’ PGAS Batasi Konsumsi Gas Pipa Pelanggan Industri di Jawa Bagian Barat
