Terindikasi Menambang di Luar Areal IPPKH, PT Pada Idi Lolos dari Sanksi Pidana?

Penampakan areal tambang PT Pada Idi melalui Google Earth.

JAKARTA – Perusahaan tambang batubara PT Pada Idi di Barito Utara, Kalimantan Tengah, terindikasi melakukan penambangan di luar wilayah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang melanggar sejumlah perundang-undangan.

Hal ini terungkap dari dokumen Berita Acara Verifikasi Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan (PKH) pada Areal PPKH atas nama PT Pada Idi tertanggal 12 Juni 2024.

Dalam dokumen No. BAV.46/BPKHTL XXI/SDHTL/PNBP/6/2024 itu yang diterima redaksi belum lama ini, terungkap adanya indikasi bukaan lahan di luar areal PPKH PT Pada Idi, terdiri dari area penambangan sekitar 221,92 hektare dan area stockpile dan jetty seluas 1,89 ha.

Atas pelanggaran tersebut, PT Pada Idi ‘hanya’ dikenakan sanksi administratif berupa pembayaran PNBP PKH-PPKH dalam hal ini sanksi penambangan di luar PPKH.

Sanksi ini disebut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.727/MenLHK/Setjen/GKM.0/7/2023 tanggal 3 Juli 2023 tentang Pengenaan Sanksi Administratif kepada PT Pada Idi yang merupakan realisasi aduan terhadap areal pit.

Adapun areal stockpile dan jetty PT Pada Idi belum dikenakan sanksi administratif. PT Pada Idi hanya diminta memprosesnya sesuai PP No. 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP yang Berasal dari Denda Administratif Bidang Kehutanan.

Aktivitas tambang di luar areal PPKH atau tanpa izin tersebut melanggar UU No. 4 Tahun 2029 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dalam UU Minerba Pasal 134 ayat (2) ditegaskan, kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun UU Kehutanan Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) mengatur, setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian IPPKH yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Pelanggaran terhadap kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH ini diancam sanksi berat, yakni pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.

Selain itu, sanksi administratif sesuai dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.

Saat diminta klarifikasi dan penjelasan terkait informasi itu, Direktur Utama PT Pada Idi Jubilant Arda Harmidy yang dihubungi melalui pesan whatsapp tidak merespons hingga berita ini diturunkan.

Temuan penambangan di luar areal PPKH tersebut juga memunculkan pertanyaan terkait izin yang diberikan Ditjen Minerba kepada PT Pada Idi. Sebab tidak mungkin perusahaan tambang melakukan eksplorasi tanpa mengantongi izin ataupun persetujuan RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya).

Mengenai hal ini, redaksi menanyakan kepada Lana Saria, Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam di Kementerian ESDM melalui pesan whatsapp, tetapi tidak ditanggapi. Lana dianggap mengetahui perizinan PT Pada Idi saat ia menjabat Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Ditjen Minerba.

Dugaan Pencemaran

Selain masalah perizinan, PT Pada Idi juga diduga melakukan pencemaran lingkungan hidup dengan membuang langsung limbah cair hasil pengelolaan tambang berupa air asam tambang ke Sungai Barito.

Dugaan ini terungkap dari dokumen verifikasi lapangan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng terhadap aktivitas PT Pada Idi tertanggal 13 Juli 2024 yang diperoleh redaksi belum lama ini.

Dalam dokumen disebutkan, adanya temuan sedimentasi atau pendangkalan pada setiap kompartemen pengolahan limbah perusahaan. Akibatnya air meluap keluar dari kompartemen tanpa dikelola terlebih dahulu, yang berakibat tercemarnya Sungai Barito.

Pelanggaran lainnya, PT Pada Idi disebut membuang limbah dari stock-pile batubara menggunakan pipa by pass menuju langsung ke Sungai Barito tanpa diolah.

Selain itu, PT Pada Idi membangun pelabuhan bongkar batubara (jetty) di pinggir Sungai Barito tanpa didukung dokumen lingkungan atau Amdal, serta membangun jalan hauling (jalan tambang) dimana terdapat 10 km tidak masuk ke dalam IUP perseroan.

Temuan-temuan ini melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, terutama pasal 98 dan pasal 99 dengan ancaman minimal pidana 3 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Ancaman pidana lainnya mengacu pada UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air pasal 70 huruf a dengan ancaman penjara 1-3 tahun dan denda Rp1-5 miliar junto pasal 74 bagi badan usaha. Bagi pemberi perintah dan pimpinan perusahaan sanksinya dua kali lebih berat.

Ada fakta lain yang cukup mengejutkan, yakni lokasi tambang PT Pada Idi ternyata memanjang hingga 7 km tanpa terputus-putus. Ini terbukti dari citra satelit melalui Google Earth. Profil tambang seperti ini dinilai tidak ramah lingkungan.

Sebelumnya, Kepala Teknik Tambang PT Pada Idi Aditya—yang ditanya mengenai berbagai temuan itu, mengakui pihak DLH Kalteng telah melakukan kunjungan ke lokasi perusahaan beberapa waktu lalu. Dari hasil kunjungan itu, pihaknya telah menerima sejumlah rekomendasi.

“Kami diminta melakukan perbaikan-perbaikan. Saat ini kami dalam progress menindaklanjuti rekomendasi itu. Tapi memang butuh proses, termasuk arahan dari manajemen,” ungkapnya, Senin (5/8/2024).

Menurut Aditya, perusahaan sudah berusaha memenuhi regulasi dan perundang-undangan yang berlaku, terutama terkait dengan masalah lingkungan. Namun dia mengaku tidak berwenang menjelaskan kebijakan strategis perusahaan. “Kalau dari sisi teknis kami siap,” ujarnya.

Ketika ditanya soal aktivitas pertambangan di wilayah IPPKH tanpa izin pemerintah, Aditya mengatakan sudah ada langkah-langkah yang ditempuh perusahaan untuk menyelesaikan masalah itu. “Sesuai dengan PP 24/2021 ada sanksi dan setahu saya sudah diselesaikan perusahaan,” jelasnya.

Begitu juga soal jalan hauling, Aditya mengatakan pihaknya menggunakan IUP perusahaan lain tetapi fasilitas itu sesuai IPPKH. Namun dia tidak dapat menjelaskan lebih jauh mengenai tindak lanjut sanksi dan perizinan sebab hal itu kewenangan manajemen. (hl)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *