JAKARTA – Kejaksaan Agung telah menahan sembilan tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKS) periode 2018-2023 dengan kerugian negara ditaksir Rp193 triliun pada tahun 2023 saja.
Berkembang berbagai pendapat di tengah masyarakat, melalui berbagai media sosial, yang hampir semuanya bersuara negatif, menghujat dan mencaci pelaku atau tersangka dan juga Pertamina sebagai institusi, bahkan sampai mengajak untuk beralih ke produk lain. Belakangan disampaikan oleh Jaksa Agung bahwa BBM yang beredar saat ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.
Mantan Direktur Kilang Pertamina Suroso A. Daat diminta pendapat oleh Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) mengutarakan berbagai dampak atas gemparnya kabar tindakan hukum oleh Kejagung tersebut.
“Momentum saat ini memang tepat bagi merek lain untuk mengembangkan pasar. Dampak pasar akan terasa dalam jangka panjang,” ungkapnya, Minggu (17/3/2025).
Kemudian, lanjut Suroso, dugaan kerugian yang disebut bahkan mencapai Rp 1.000 triliun, akan menjadi pertanyaan terutama dari pemegang Bond, dan investor luar negeri.
“Tingkat kepercayaan investor atau pun lender akan menurun. Akibatnya akan menjadi lebih sulit bagi Pertamina untuk mencari dukungan pendanaan bagi kegiatan operasi maupun pengembangan usaha Pertamina,” imbuhnya.
Menurut Suroso, isu tersebut juga muncul saat laporan keuangan hasil auditor independent seyogyanya dikeluarkan dan akan dipakai untuk RUPS tahunan untuk mendapatkan pendapat dari RUPS diterima atau ada catatan. Selanjutnya, ada risiko hukum atas isu kecurangan yang dilakukan Pertamina selama lima tahun.
“Jika dalam persidangan nanti dapat dibuktikan adanya kecurangan, maka pihak konsumen dapat melakukan class action menuntut kerugian, bahkan kecurangan yang seperti disebutkan yaitu pemalsuan barang dapat berakibat penutupan perusahaan. Hal ini di antaranya diatur tentang hak konsumen seperti dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999,” jelasnyq.
Bagi usaha Pertamina tentu juga ada dampak, Suroso mengatakan investor tentu akan menakar berbagai kemungkinan risiko yang akan dihadapi Pertamina dan kemudian menentukan sikap bagaimana hubungan dengan Pertamina. Pertamina memerlukan dukungan dari masyarakat pendanaan global, baik perbankan maupun investor.
“Selain itu dalam pembelian material minyak mentah atau BBM Pertamina memerlukan pembukaan LC, dimana nama dan kredibiltas Pertamina menjadi tolok ukur untuk pembiayaan pembukaan LC,” beber Suroso.
Tak kalah penting, menurut Suroso, dengan adanya kasus ini maka pejabat-pejabat yang menangani pembelian akan merasa tertekan, karena belum mendapatkan kejelasan apa yang sebenarnya terjadi sehingga dapat diduga menimbulkan kerugian yang begitu besar dari segi jumlah maupun kualitas. Jika memang pasti dan jelas kesalahannya, hal ini tentu tidak akan menimbulkan keresahan, pejabat baru banting setir mengambil jalan lurus.
Sebaliknya jika merasa yang dijalankan sudah sesuai dengan bisnis praktis maupun SOP, maka hal ini dapat memicu rasa ketakutan yang mendalam, karena sangkaan Pasal 2 atau Pasal 3 tidak harus menguntungkan diri sendiri, menguntungkan orang lain atau korporasi lain sudah dapat menjadi unsur tindak pidana tersebut.
“Saya yakin ini semua akan memberi beban psikologis tersendiri bagi pejabat yang mengelola pembelian BBM dan minyak mentah,” ungkap Suroso.
Menurut dia, harus segera dijelaskan dan diterangkan penyimpangan dengan sejelas-jelasnya dan harus segera diperbarui tatakelolanya. Waktu terus berjalan dan pengadaan tidak boleh terlambat. Begitu terlambat resiko akan menjadi besar. Posisi tawar pembeli makin lemah karena terdesak waktu dan justru akan memberikan peluang bagi pasar untuk menekan pembeli dan mencari keuntungan yang berlebih.
“Mekanisme pasar memang kejam tidak mengenal saudara atau teman. Akan terjadi tumpukan kerugian jika tidak melakukan pembelian tepat pada waktunya. Terlambat beli artinya akan beli lebih mahal. Takut beli mahal maka akan kekurangan pasokan. Jika terjadi maka akan beli lebih mahal lagi,” kata Suroso.
“Pernah terjadi kelangkan saat tahun 2003, yang akhirnya pemerintah turun tangan dengan meminta bantuan Malaysia untuk memasok BBM. Semoga tidak terjadi kelangkaan karena keterlambatan impor,” ujar Suroso.