RI Bakal Bangun Kilang Jumbo 1 Juta bph, Mantan Direktur Kilang Pertamina Ingatkan Hal Ini

Kilang minyak

JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia belum lama ini mengungkapkan rencana pembangunan kilang minyak berkapasitas 1 juta barel per hari (bph). Dia menyebut proyek kilang jumbo ini sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam mendorong program hilirisasi sebagai strategi utama memperkuat ketahanan energi nasional.

Menanggapi rencana besar tersebut, pemerhati industri migas yang juga mantan Direktur Kilang Pertamina Suroso A. menyampaikan pandangannya. Dia mengingatkan bahwa kilang minyak merupakan usaha yang bertumpu pada nilai tambah, yaitu mengolah minyak mentah dan memproduksi turunannya, baik bahan bakar minyak maupun produk petrokimia yang bernilai lebih tinggi.

Produk kilang sangat bervariasi, mulai dari BBM sampai dengan produk keperluan sehari-hari, seperti tekstil, plastik, karet sintetis, pelarut dan lain-lain. “Minyak mentah bermuara pada kilang, artinya produsen minyak mentah butuh kilang. Sebanyak 80 persen minyak mentah di dunia sudah punya tujuan ke kilang, sisanya diperdagangkan bebas di pasar,” kata Suroso seperti dikutip Center for Energy and Resources Indonesia (CERI), Senin (17/3/2025).

Pada era tahun 80-an, ketika Pertamina didirikan atas dasar UU Nomor 8 Tahun 1971, negara membangun kilang untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan Pertamina merupakan satu-satunya perusahaan yang mengelola migas di Indonesia.

“Pertamina tidak mempunyai aset, hanya bertindak sebagai operator yang mendapatkan fee pengelolaan. Pertimbangan tugas negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat serta melaksanakan amanat konstitusi langsung oleh negara,” kata Suroso.

Menurut dia, investor pada kilang ini murni berusaha untuk mendapatkan keuntungan, baik pengembalian modal maupun hasil investasi dari kilang. Nilai tambah pengolahan minyak mentah menjadi produk sebagai penghasilan untuk dapat membayar utang, bunga dan keuntungan pemodal.

“Yang diperlukan investor adalah keamanan investasi, proyeksi dari pemasaran produk yang dapat diperkirakan mampu menopang pengembalian pinjaman dan bunga serta memberikan keuntungan yang wajar,” ujar Suroso.

Suroso mengatakan, analisa pasar dan peraturan di negara dimana modal ditempatkan akan menjadi pertimbangan utama termasuk kondisi politik dan arah politik negara. “Risiko bisnis kilang yang paling besar adalah risiko pasar, risiko operasi umumnya dapat dimitigasi dengan berbagai sistem termasuk dengan asuransi dan teknologi proteksi hazard yang semakin canggih,” jelasnya.

Konfigurasi Kilang

Lebih jauh Suroso menjelaskan, konfigurasi kilang merupakan deretan susunan unit proses yang dirancang untuk mendapatkan keutungan atau memenuhi tujuan pembangunan kilang.

“Minyak dapat diolah menjadi BBM maupun produk-produk yang menopang kebutuhan masyarakat mulai dari tekstil, barang plastik, karet, pertanian dan industri farmasi. Maka konfigurasi harus disusun dengan baik sejauh mana akan dibuat,” paparnya.

Semakin terintegrasi konfigurasi, lanjut Suroso, maka kilang akan semakin tahan terhadap persaingan dan akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan baik.

“Contoh yang sekarang sedang dibangun di Malaysia adalah Refiney and Petrochemical Integrated Development atau RAPID yang mengintegrasikan kilang BBM dengan kilang-kilang yang menghasilkan produk kebutuhan masyarakat dan ini dibangun di kawasan Asean bekerja sama dengan produsen minyak,” jelasnya.

Menurut Suroso, keruntuhan industri tekstil di Indonesia salah satunya diakibatkan bahan baku serat dari minyak di China terintegrasi dengan kilang sehingga dapat memangkas biaya logistik dari produk antara. “Kita memproduksi paraxylene di Cilacap dan Tuban, tetapi Kilang PTA di Merak perlu biaya US$30 per ton untuk transportasi. PTA dibawa lagi ke tempat lain untuk dijadikan benang dan tekstil,” ulas Suroso.

Bahan Baku Minyak Mentah

Suroso menyebut, produksi minyak mentah Indonesia saat ini di bawah 600 ribu barel per hari. Perjalanan menuju target 1 juta masih panjang. Mau tidak mau, kilang yang dibangun harus mengandalkan pasokan minyak mentah dari luar negeri.

“Produksi minyak mentah regional seperti Brunei, Malaysia, Vietnam sudah tidak dapat diharapkan karena menurun terus. Ketersediaan minyak mentah saat ini dari jauh, Rusia, Timur Tengah, Afrika dan Amerika yang memerlukan perjalanan kurang lebih 30 hari,” beber Suroso.

Menurut Suroso, strategi pemilihan minyak mentah sangat penting. Selain menyangkut rancangan kilang, juga terkait keamanan pasokan, biaya investasi serta harga minyak yang dapat memberikan nilai tambah yang optimum. Keterlibatan produsen minyak dalam pembangunan kilang menjadi sangat penting.

Lalu bagaimana dengan rencana kilang 1 juta bhp tersebut? Merujuk takaran-takaran yang dibeberkan Suroso, perlu dicari tahu apa yang melatar belakangi ide pembangunan kilang tersebut. Benarkah kita tidak membutuhkan partner dari luar, sejauh mana kemampuan finansial, teknologi dan penjaminan pasokan bahan baku minyak mentah?

“Pasar minyak mentah dan produk turunannya sangatlah volatile, margin kilang pernah sampai minus, tergantung pasokan dan permintaan, seperti saat kilang-kilang Pertamina beroperasi di tahun 90-an dimana kita swasembada BBM. Beruntung waktu itu produksi minyak mentah Indonesia masih tinggi dan posisi Pertamina sebagai operator saja yang menerima fee pengolahan,” ungkap Suroso.

Dia justru mempertanyakan, apakah nantinya jika tambahan kilang ini menyebabkan harga di pasar lebih rendah dari biaya produksi dapat dipersoalkan oleh aparat penegak hukum dan dicari celah kebocoran dalam pembangunan kilang? Selain itu, sanggupkah BPI Danantara menanggung risiko investasinya tidak berkembang atau malah menyusut?

Suroso menilai keputusan membangun kilang sangat bagus sebab Indonesia masih memerlukan banyak BBM, apalagi bahan baku industri dari minyak mentah juga masih impor seperti untuk tekstil, karet, dan plastik. Namun startegi untuk membangun kilang haruslah dilakukan dengan tepat, tepat kapasitas, tepat lokasi dan tepat jenis produksi.

Kalau di pulau terpencil, tutur Suroso, bagaimana distribusi produknya untuk mencapai ke konsumen, harus bisa bersaing dengan kompetitor, seperti Malaysia dengan RAPID yang sama-sama minyak mentah impor, biaya pemeliharaan, fasilitas penunjang dan lain-lain.

“Mengajak produsen minyak mentah menjadi alternatif yang bagus untuk menjaga pasokan dan membagi resiko dalam berinvestasi serta membuka diskusi dan menganalisa resiko dengan pihak lain sehingga mempertajam analisa serta mencari solusi dalam mengatasi resiko,” ujarnya.

Menurut Suroso, BPI Danantara merupakan pengelola investasi yang mestinya menginginkan dananya berkembang. Sementara kilang dengan risiko yang sangat besar terutama dari segi keuangan, sangat beresiko jika dibebankan pada BPI Danantara.

“Pasar sangat kejam, margin akan tertekan sampai negatif, seberapa lama kilang baru akan bertahan dengan beban pengembalian investasi dan bunga melawan kilang yang sudah lama tanpa beban investasi dan bunga. Belum lagi tanpa pengamanan pasokan minyak mentah, bisa jadi kena tekan depan belakang. Kita tunggu langkah selanjutnya dari pemerintah,” pungkas Suroso.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *