JAKARTA – Kejaksaan Agung diminta segera memeriksa perusahaan tambang batubara PT Pada Idi di Barito Utara, Kalimantan Tengah, yang diduga melakukan penambangan di area Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH), pencemaran lingkungan, dan pelanggaran izin terminal khusus.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengungkapkan, instansi berwenang dan aparat hukum di daerah terkesan lamban menanggapi dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Pada Idi sehingga terus berlanjut.
“Hingga kini belum ada tindakan nyata dari aparat terhadap pelanggaran PT Pada Idi. Karena itu Kejaksaan Agung harus segera turun tangan. Periksa semua pengurus perusahaan itu dan pejabat-pejabat yang bertanggungjawab,” ujarnya, Sabtu (18/1/2025).
PT Pada Idi diduga melakukan eksplorasi dan eksploitasi di area PPKH tanpa izin dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Penambangan tanpa izin ini terungkap dalam dokumen Berita Acara Verifikasi Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan (PKH) pada Areal PPKH atas nama PT Pada Idi.
Dalam dokumen No. BAV.46/BPKHTL XXI/SDHTL/PNBP/6/2024 tertanggal 12 Juni 2024 itu, ditemukan indikasi bukaan lahan di luar areal Izin PPKH perusahaan, terdiri dari area penambangan seluas 221,92 hektare dan area stockpile dan jetty 1,89 ha.
Yusri meyakini Ditjen Minerba khususnya Direktorat Pembinaan Pengusahaan Batu Bara mengetahui rencana kerja PT Pada Idi sebagaimana tertuang dalam RKAB (Rencana Kerja Anggaran dan Biaya). “Perusahaan itu tidak mungkin menambang tanpa persetujuan RKAB. Di sini muncul dugaan kolusi dan korupsi,” kata Yusri.
Dia mengatakan RKAB diperoleh setelah Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara memberikan persetujuan terhadap area cadangan batubara yang diajukan perusahaan. RKAB itu kemudian diajukan kepada Dirjen Minerba untuk disetujui.
RKAB adalah dokumen yang berisi rencana kerja dan anggaran biaya yang harus disusun oleh perusahaan pertambangan setiap tahun. RKAB harus diajukan untuk disetujui oleh Kementerian ESDM atau instansi yang diberikan kewenangan.
Yusri mengatakan RKAB tidak hanya meliputi aspek pengusahaan dan teknik, tetapi juga lingkungan. Kalau rencana penambangan berada di dalam kawasan hutan, maka perusahaan harus melampirkan Izin PPKH dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Apabila terbukti menambang di area PPKH atau di luar area IPPKH berarti perusahaan telah melanggar Undang Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pejabat yang menyetujui RKAB itu juga melanggar undang-undang. Mereka semua yang terlibat harus diperiksa,” tegasnya.
Melanggar UU
Yusri mengatakan, aktivitas tambang di luar areal IPPKH merupakan pelanggaran berat yang bisa dihukum pidana dan administratif. Selain UU Minerba dan UU Kehutanan, penambangan tanpa izin melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Dia juga mempertanyakan, mengapa RKAB PT Pada Idi tetap diterbitkan oleh Ditjen Minerba padahal perusahaan itu disebut tidak melaporkan informasi ke aplikasi MODI (Minerba One Data Indonesia) pada tahun 2020.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh redaksi, pada 2020 terjadi perubahan komposisi saham di PT Pada Idi setelah masuknya PT Tunas Laju Investama (TLI) dengan menguasai 33,33% saham. Setelah TLI masuk, saham PT Petro Energy turun menjadi 36,67%, sementara Bintoro Iduansjah dan The Budi Tejo Prawiro masing-masing menjadi 15%.
Bintoro dan The Budi adalah pemegang saham pendiri PT Pada Idi yang sebelumnya masing-masing menguasai 50% saham. Pada 2019, PT Petro Energy mengambilalih 55% saham, sehingga saham Bintoro dan Budi masing-masing susut menjadi 22,5%.
Pada 2024, PT Pada Idi diketahui baru melaporkan kembali informasi perseroan dengan komposisi saham yang sudah berubah, yakni PT TLI 82%, sisanya Bintoro dan Budi masing-masing 9%.
Selain persoalan tersebut, Yusri juga mempertanyakan penambangan di luar IPPKH PT Pada Idi yang hanya dikenakan sanksi administratif berupa pembayaran PNBP PKH-PPKH. Bahkan, penggunaan kawasan hutan untuk stockpile dan jetty atau terminal khusus (tersus) perusahaan itu belum dikenakan sanksi administratif.
Pencemaran Lingkungan
Berdasarkan dokumen hasil verifikasi lapangan oleh tim Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng terhadap aktivitas PT Pada Idi tertanggal 13 Juli 2024 juga terungkap sejumlah temuan pelanggaran. Salah satunya, PT Pada Idi disebut membuang langsung limbah cair hasil pengelolaan tambang berupa air asam tambang ke Sungai Barito.
Tim verifikasi DLH Kalteng dalam dokumen itu juga menemukan adanya sedimentasi atau pendangkalan pada setiap kompartemen pengolahan limbah PT Pada Idi. Akibatnya air meluap keluar dari kompartemen tanpa dikelola terlebih dahulu, yang berakibat tercemarnya Sungai Barito. Temuan lain, PT Pada Idi disebut membuang limbah dari stock-pile batubara menggunakan pipa by pass menuju langsung ke Sungai Barito tanpa diolah.
Pencemaran lingkungan merupakan kejahatan serius sehingga diancam hukuman berat sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, terutama pasal 98 dan pasal 99 dengan ancaman minimal pidana 3 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Terkait pencemaran sungai, ancaman pidana juga mengacu pada UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air pasal 70 huruf a dengan ancaman penjara 1-3 tahun dan denda Rp1-5 miliar junto pasal 74 bagi badan usaha. Bagi pemberi perintah dan pimpinan perusahaan sanksinya dua kali lebih berat.
Selain mencemarkan lingkungan, dalam dokumen itu juga disebutkan PT Pada Idi membangun pelabuhan bongkar batubara (jetty) di pinggir Sungai Barito tanpa didukung dokumen lingkungan atau Amdal, serta membangun jalan hauling (jalan tambang) dimana terdapat 10 km tidak masuk ke dalam IUP perseroan.
Dari dokumen itu juga terungkap fakta yang cukup mengejutkan, yakni lokasi tambang PT Pada Idi memanjang hingga 7 km tanpa terputus-putus. Ini terlihat dari citra satelit menggunakan Google Earth. Praktik tambang seperti itu dinilai merusak lingkungan.
Polda Kalteng diketahui tengah mengusut legalitas tersus PT Pada Idi yang diduga berada di kawasan hutan dan tidak mengantongi izin itu. Dalam kasus ini, PT Pada Idi diduga melanggar UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan dan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.