JAKARTA – Grup Sugico, kelompok usaha yang bergerak di bidang pertambangan, kembali menyita perhatian publik. Sejumlah perusahaan di bawah naungan grup ini diduga melakukan pelanggaran dan tidak membayar kewajiban kepada negara.
Sugico selama ini dikenal sebagai grup usaha di bidang pertambangan dan energi yang didirikan mendiang Kokos Leo Lim alias Kokos Jiang. Perusahaannya tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, hingga Papua.
Berdasarkan penelusuran redaksi, perusahaan di bawah bendera Sugico antara lain PT Tansri Madjid Energi (TNE), PT Sriwijaya Tansri Energi (STE), PT Sugico Graha, PT Sumber Daya Persada, PT Sugico Pendragon Energi (SPE), dan PT Prima Lazuardi Nusantara (PLN).
Selain itu, PT Lion Multi Resources (LMR), PT Lion Global Energi (LGE), PT Lion Power Energi (LPE), PT Brayan Bintang Tiga Energi (BBE), dan PT Sriwijaya Bintang Tiga Energi (SBE), dan PT Trans Power Indonesia (TPI).
Beberapa perusahaan Grup Sugico akhir-akhir ini disorot karena diduga melakukan berbagai pelanggaran serius, seperti pencemaran lingkungan, memalsukan dokumen perencanaan penambangan, hingga tidak membayar kewajiban kepada negara.
PT Sriwijaya Tansri Energi (STE), misalnya. Tambang batu bara Sugico yang beroperasi di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) dan Muara Enim, Sumsel, ini dilaporkan masyarakat setempat atas dugaan pencemaran lingkungan.
PT STE diduga tidak melakukan pengelolaan air asam tambang (AAT) dan belum memiliki persetujuan teknis (Pertek) limbah cair dan padat. Sedimentasi akibat bukaan tambang diduga menyebabkan pendangkalan Sungai Pali dan memicu banjir. Selain itu, manifes keluar masuk limbah B3 tidak tercatat.
Tuduhan lain yakni dokumen perencanaan tambang tidak sesuai. Belum lagi pencemaran debu dan kerusakan jalan akibat pengangkutan batu bara yang dikeluhkan warga. Amdal perusahaan bahkan sudah berakhir karena tidak melakukan penambangan selama tiga tahun berturut-turut.
Dugaan pencemaran lingkungan juga ditujukan kepada PT Tansri Madjid Energi (TNE), tambang emas Sugico di Lebong, Bengkulu. Tidakpatuhan perusahaan ini bahkan terbukti dari predikat Proper Merah empat kali berturut-turut sejak 2018 hingga 2022.
Selain tambang emas, PT TNE juga bergerak di bisnis migas. Perusahaan ini berganti nama menjadi PT Balmoral Gas yang memenangkan Blok Merak Lampung pada 2018. PT TNE juga memiliki anak usaha di bidang migas yang mengantongi kontrak kerja sama (KKS) migas konvensional tahun 2014, yakni PT Baradinamika Citra Lestari.
Sebagai informasi, PT TNE pernah terlibat kasus korupsi proyek PT PLN Batubara yang merugikan negara hingga RP477 miliar lebih pada 2019. Kokos Jiang yang saat itu menjabat Dirut PT TNE dihukum penjara 4 tahun, denda Rp200 juta, dan mengganti kerugian negara Rp477 miliar.
Sementara itu, anak usaha lainnya yakni PT Sugico Pendragon Energi (SPE) dilaporkan masyarakat di Kabupaten Morowali, Sulteng, karena dituding melanggar Perda No. 7/2019 tentang RTRW Kabupaten Morowali. Perda ini melarang industri ekstraktif termasuk pertambangan berada di wilayah perkotaan dimana PT SPE berada.
Informasi yang dirangkum redaksi juga mengungkapkan, salah satu anak usaha Sugico yang menambang batu bara di Muara Enim yakni PT Sugico Graha diduga melakukan penambangan tidak sesuai perencanaan.
Aktivitas tambang perusahaan itu di garis sepadan sungai disinyalir tanpa izin, perusahaan belum mengantongi Pertek limbah dan B3, serta Amdal berakhir karena tidak melakukan penambangan 3 tahun berturut-turut.
Pelanggaran serupa juga dilakukan oleh PT Prima Lazuardi Nusantara, anak usaha Sugico yang menambang batu bara di Baturaja, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumsel. Informasi menyebutkan, perusahaan tidak memiliki Pertek limbah padat dan cair, manifes keluar masuk limbah B3 tidak tercatat, hingga diduga memanipulasi dokumen perencanaan tambang.
Sejumlah perusahaan tambang Grup Sugico bahkan disebut tidak memenuhi kewajiban reklamasi pasca-tambang dan kewajiban atas lahan kepada pemerintah. Padahal di Sumsel saja, kelompok usaha ini memiliki lebih dari tujuh IUP. Belum lagi di daerah lain, totalnya diduga lebih dari 200 IUP.
Menurut sumber di kalangan pertambangan, dari seluruh IUP yang dikuasai Sugico, tidak satu pun yang saat ini dilakukan penambangan. Sugico diduga hanya meminta jatah 2-3 dolar per ton.
Dia menilai perusahaan itu tidak memenuhi janji kepada negara untuk menjaga dan mengelola sumber daya alam secara bertanggungjawab demi kesejahteraan masyarakat.
“Kasus-kasus tersebut menjadi contoh dan tolok ukur ketidakseriusan dan ketidakpatuhan Sugico. Oleh karena itu, pemerintah harus mengecek seluruh IUP Sugico dan mengambil tindakan tegas, termasuk mencabut IUP yang bermasalah,” tegasnya.
![](https://www.indonesiaoversight.com/wp-content/uploads/2024/12/WhatsApp-Image-2024-12-14-at-20.50.41-400x225.jpeg)